Cerpen Persahabatan : Pengertian ,Tips Menulis dan Contohnya

Cerpen Persahabatan : Pengertian ,Tips Menulis dan Contohnya – Cerpen Persahabatan itu seperti apa?Pada kesempatan ini Seputarpengetahuan.co.id akan membahas apakah itu Cerpen Persahabatan dan hal-hal lain tentangnya.Mari kita simak bersama artikel di bawah ini untuk lebih dapat memahaminya.

Cerpen Persahabatan : Pengertian ,Tips Menulis dan Contohnya


Cerpen atau cerita pendek merupakan suatu bentuk prosa naratif fiktif. Selain itu, cerpen atau cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya jika dibandingkan karya-karya fiksi lain yang lebih panjang, seperti novella & novel.

Dibandingkan dengan berbagai jenis karya fiksi yang lainnya, cerpen memiliki bentuk yang lebih singkat, padat dan langsung kepada tujuannya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan jenis novel dan sebagainya. Di dalam cerpen, biasanya akan diungkap mengenai kisah atau cerita tentang manusia.

Beserta berbagai seluk beluk melalui jenis tulisan yang singkat dan pendek. Dan biasanya, cerpen hanya berisi kurang dari 10,000 kata atau kurang dari 10 halaman saja untuk penyajiannya. Cerpen atau cerita pendek ternyata memiliki jenis jenis topik cerita termasuknya cerita persahabatan

Cerpen persahabatan memiliki keunikan dan ciri yang tersendiri sehingga memiliki juga unsur intrinsik dengan nilai-nilai dalam mengajarkan untuk menghargai sebuah persahabatan atau pertemanan.

Persahabatan yang di mana banyak sekali mengandung arti sehingga tidak mudah dalan persahabatan yang sejati dan juga memiliki kesetiakawanan dalam persahabatan karena merupakan gambaran dari ikatan saudara dan kawan sejati.


Tips Menulis Cerpen


Temukan Motivasi Menulis

Mungkin motivasinya adalah ingin berbagi pengalaman hidup yang inspiratif. Mungkin untuk mengkritik adat yang tak cocok lagi diterapkan di zaman kiwari. Mungkin juga untuk mencurahkan isi hati agar tak senyum-senyum sendiri.

Pilih Tema yang Sesuai

Tema yang sesuai bisa kita tentukan dengan mempertimbangkan beberapa hal:

  • Menguasai tema tersebut.
  • Tidak terlalu menguasai tema itu, tapi mau berusaha mendalaminya dengan bertanya dan mencari informasi.
  • Tema ini adalah memang rencana .
  • Tema ini amat penting di olah agar pembaca dapat memetik hikmah.

Penulis pemula baiknya memilih tema yang mudah dahulu. Misalnya tema yang sesuai dengan pengalaman hidup diri dan orang terdekat. Bisa juga tema yang diangkat dari budaya setempat yang sudah dikuasai. Intinya, jangan memilih tema yang terlalu sulit bagi diri sendiri. Dijamin cerpen tak akan selesai atau selesai tapi hancur berantakan.

Menentukan Jumlah, Nama, Sifat dan Peran Tokoh

Nama tokoh sebaiknya ditentukan dahulu agar lebih mudah merancang tahap berikutnya nanti.Sifat dan peran tokoh misalnya siapa yang jadi tokoh utama dan tokoh figuran; siapa yang jahat dan siapa yang baik; siapa yang punya masalah dan siapa yang membantu memecahkan masalah.

Membuat Alur Cerita yang Jelas

Penulis pemula kiranya perlu membuat alur cerita dulu sebelum menulis. Alur ada tiga jenis:

  • Alur maju: kemarin-hari ini-besok ; kejadian A sebabkan B, B sebabkan C.
  • Alur mundur atau kilas balik: hari ini- kemarin-dahulu
  • Alur campuran: kombinasi dari alur maju dan mundur. Saya sarankan penulis pemula jangan memakai alur ini karena agak rumit.

Tuliskan pokok-pokok peristiwa yang jadi kerangka cerpen ,misalnya seperti ini :

  • Perkenalan tokoh-tokoh: nama, usia, kebiasaan, pekerjaan, ciri-ciri fisik.
  • Perkenalan masalah atau tema yang dihadapi tokoh-tokoh
  • Upaya para tokoh mencari penyelesaian atas masalah atau tema cerpen
  • Perumitan masalah
  • Pemecahan masalah
  • Penutup: bisa berupa simpulan atas solusi masalah, penutup yang sengaja dibiarkan “menggantung”, atau kejutan.

Memilih Sudut Pandang

Sudut pandang biasanya dibagi menjadi dua.

Orang pertama: “aku”

  • Sisi positifnya:leluasa mengungkapkan isi hati/perasaan batin tokoh “aku,leluasa mengisahkan kembali pengalaman pribadi yang menjadi inspirasi cerpen dan melibatkan perasaan pembaca agar “masuk” ke dalam kisah
  • Sisi negatifnya:kurang leluasa mengisahkan perasaan batin tokoh-tokoh lain

Orang ketiga (sebagai pengamat/sutradara yang mendalang)

  • Sisi positifnya: leluasa mengisahkan perasaan dan pendapat semua tokoh,cocok untuk mengisahkan kisah yang dialami orang lain (bukan penulis sendiri)
  • Sisi negatifnya: kurang leluasa mengisahkan perasaan/isi hati tokoh utama (lebih mudah memakai “aku”)

Memperindah Cerpen dengan Susatra

Cerpen adalah susastra. Menurut KBBI, susastra adalah “karya sastra yang isi dan bentuknya sangat serius, berupa ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba dari kehidupan kemudian direka dan disusun dengan bahasa yang indah sebagai saranya sehingga mencapai syarat estetika yang tinggi”.

Keindahan bahasa dapat diciptakan melalui aneka unsur:

  • permainan bunyi (seperti dalam puisi dan pantun)
  • perulangan kata dengan padanannya agar tak membosankan (agar tak monoton)
  • dialog cantik antartokoh
  • pertanyaan retoris
  • penggunaan kata-kata yang jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari
  • penggunaan kata asing atau kata dari bahasa daerah yang menarik perhatian pembaca
  • penggunaan simbol-simbol dalam mengisahkan tokoh dan peristiwa

Menentukan Judul

Judul cerpen yang keren diantaranya adalah :

  • Pendek, tak lebih dari 4 kata.
  • Bisa satu kata saja namun sangat mempesona.
  • Bisa tokoh utama cerpen
  • Untuk menarik minat pembaca/redaktur, bisa gunakan kata atau nama yang jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari (bisa kata bahasa asing atau kata bahasa daerah)

Contoh Cerpen Persahabatan


Mimpi Untuk Dunia


Hari ini tanggal 11 september 2012, 6 buah handphone terus berbunyi tepat pukul 00.00 wib. Satu… dua… tiga…. Mimpi untuk Dunia….. itulah suara keenam sahabat berteriak di sebuah perkampungan. Seketika lampu rumah penduduk terus menyala, pintu-pintu terbuka dalam selang waktu yang bersamaan, para lelaki mulai berteriak, mengejar kami.
“kabur……” kata Fadil sambil berlari
Kamipun segera berlari dengan cepat mengikuti Fadil dengan ekspresi ketakutan di kejar warga. Waktu itu Fatur yang berbadan besar seketika berlari cepat. Seketika aku, Fadil, Fahri, Faisal, dan Fahma terkejut dan tertawa melihat Fatur dapat berlari kencang mengalahkan Fahma yang terkenal dengan larinya yang cepat, tak kami sadari ternyata warga semakin dekat dan satu… dua… tiga…. Lari….
Akhirnya kami bebas dari ketakutan dan sampai di Bukit Impian, yah itulah nama yang kami berikan kepada bukit tempat kami berikrar enam sahabat berbeda mimpi. Sebelum matahari hendak memberikan sinarnya kami berteriak kepada dunia ini dengan kencang “dunia kau kan kami dapatkan, bintang-bintang kau kan kami genggam, bulan cahayamu kan kami kalahkan karena pemimpi untuk dunia segera datang”
Yah suara yang kami harapkan melaju dengan kecepatan tinggi menjelajahi dunia melalui angin yang tertiup dan terdengar oleh seluruh homo sapiens di dunia ini supaya mereka bersiap melihat 6 sahabat menjadi pemimpin dunia. Senyuman manis terus terpancar dari wajah kami, genggaman tangan semakin erat, pelukan sahabat mengahangatkan pori-pori kulit ini. Saatnya berlari menuruni bukit menuju perkampungan.
“haduh apa yang akan terjadi?” Fahma bertanya kepada kami
“memang apa yang akan terjadi?” tanyaku kepada Fahma
Seketika Fahma menjelaskan “tadi warga mengikuti kita dengan penuh kemarahan karena kita berteriak diwaktu warga tertidur lelap” raut Fahma kebingungan
“haha ngapain kita harus takut” jawabku kepada Fahma sambil tersenyum
“iya bener tuh paling juga di suruh keliling kampung 5 putaran seperti dulu” jawab Fatur sambil menghela nafas karena lelah berlari tadi
“yaps betul banget F6 ko’ ketakutan gini” jawab Fahri
“senang,susah kita bersama” Fadil berkata sambil meyakinkan kami
Akhirnya gerbang desa terlihat mendekat terus mendekat, dan disana sudah ada kepala kampung menunggu dengan para lelaki di belakangnya
“siap-siap deh kita kena marah” Fahma berbisik dengan suara pelan
“Faris cepat kau maju hadapi Kepala Kampung” tangan teman-temanku mendorong tubuhku yang sedang letih
“iya-iya aku kan maju” jawabku dengan tegas
Yah itulah sensasi dari pemimpin harus maju ketika menghadapi masalah, harus melindungi anggota dan masih banyak lagi. Pertama ku tarik nafas panjang dan mengeluarkan sejuta karbondioksida yang sulit ku hitung, genggaman tanganku semakin kuat, ayo maju Faris hati ku selalu berkata. Akhirnya ku langkahkan kaki ini menuju kepala kampung
“Pak Munajat” suaraku sedikit pelan dengan mata tertunduk kebawah
“Apa yang kau dan teman-temanmu lakukan nak?” Pak Munajat bersuara dengan penuh kebijaksanaan
Sementara para warga sudah kesal, dan ingin meluapkannya kepada kami
“Kemarin kami merayakan kebersamaan kami di tengah malam, dan maaf kami telah mengganggu ketenangan semua yang telah terlelap dengan nyenyaknya” jawabku sambil menatap dengan penuh keyakinan
“ya sudah kalau memang begitu, kau telah mewakili teman-temanmu untuk meminta maaf, dan kalian tahu kan apa hukuman yang sering kalian lakukan?” jawab kepala kampung
“iya Pak kami sudah tahu mengelilingi kampung sebanyak 5 putaran” jawabku
“bukan hanya itu kalian harus membersihkan seluruh sampah setiap sore dan berlari 5 putaran mengeliling kampung selama sebulan” kata Pak Munajat
“yah ditambah lagi cape banget dong” Fatur berkata sambil melihat Fahma
“ah dasar kamu Fatur, biar langsing tuh perut” jawab Fahma sambil tersenyum
“baik Pak, kami terima seluruh hukuman itu, dan kepada warga kami mohon maaf atas semua kejahilan kami serta perilaku kami” jawab ku dengan penuh bijaksana
“iya seluruh warga telah memaafkan kalian” jawab Pak Munajat sambil menepuk punggunngku
Aku hanya membalasnya dengan sebuah senyuman
Warga pun bubar dari sebuah pengakuan 6 sahabat yang telah mengganggu tidur mereka. Kami pun berkumpul kembali, yah terasa lega setelah berakhirnya kejadian tadi. Kami tertawa bersama dan melihat mata kami seperti mata panda karena ada lingkaran hitam tanda kurang tidur. Seketika mulut kami menguap, jalan sudah mau jatuh, mata kami menjadi sipit.
“cape banget nih masbro” Fadil berkata
Kami tetap menyusuri gang-gang untuk menuju tempat berkumpul kami
“iya bener banget tuh, liat mataku sudah tak dapat terbuka dengan stabil” jawab faisal sambil jarinya menunjuk kepada matanya
“ah kalian semua payah, liat dong sang pemimpin ini masih sangat tegang” kata Fahri sambil memegang bahuku dan menyentuh kepalaku
“aku memang masih tegang, meskipun kelakuan kita suka buat marah warga tapi baru kali ini kita langsung harus berhadapan dengan Pak Munajat” jawab ku sambil menarik nafas
“ah sudah-sudah berhenti nanti kita lama sampai di saungnya” jawab Faisal
Faisal adalah orang yang paling bijaksana diantara kami dan perhatian kepada sahabat-sahabatnya
“cie cie sang bijak mulai berkata” kata Fatur sambil menggoda Faisal
Akhirnya kami sampai dan 6 buah bantal mulai berserakan di saung. Penat ini ingin segera terhilangkan, matahari semakin menantang dengan cahayanya yang terus naik ke tengah-tengah langit. Namun karena lelah sekali kami masih memaafkan mu matahari dan tertidur dengan pulas untuk mengisi amunisi supaya tidak lelah harus melakukan hukuman nanti.
Suara detik waktu terus terdengar namun bukan suara jam yang membangunkan ku, handphone pun bukan, tapi duet nyanyian ngorok Fatur dan Fahma. Yah seolah menonton konser K-POP di Gelora Bung Karno. Nada rendah Fatur di balas nada tinggi Fahma dan Fadil pun malah ikut-ikutan ngorok. Haduh sudah kayak 3 Mega Stars di konser yang satu tiketnya 200 juta. Akhirnya Faisal dan Fahri pun terbangun dengan mata yang masih ngantuk.
“Aduh 3 orang ini tidur ko’ kayak konser” Faisal berkata dengan kesalnya
“haduh nih anak mau gue kasih garem” Fahri berkata dengan mata yang terbuka sedikit dengan pelafalan kata yang tidak begitu jelas
“gimana kalau kita kerjain?” saranku kepada Faisal dan Fahri
“ah gue setuju banget” jawab Fahri
“kasih aja garam trus tempelin di bibir mereka” Faisal memberikan idenya
“ok, aku ambil dulu garamnya”
Aku, Faisal dan Fahri sudah menahan tawa ketika hendak memberikan garam pada bibir 3 Mega Star ngorok itu. Aku mengoleskan garam kepada Fatur, Faisal kepada Fahma, dan Fahri kepada Fadil. Seketika mereka terbangun dari tidurnya dan mengejar kami sambil mengucapkan kata-kata dengan tak jelas kami dengar. Berlari dengan kencang, melaju seperti cita yang berlari di padang rumput. Namun sekencang kami berlari, Fahma yang baru terbangun lebih kencang larinya dari pada kami. Hap, tertangkaplah Faisal oleh pelukan keras Fahma. Seketika aku dan Fahri tertawa melihat Faisal yang akan mendapatkan balasan dari Fahma. Lari, lari dan berlari itulah yang aku lakukan bersama Fahri sedang dibelakang kami mengikuti Fatur dan Fadil. Ketika aku menengok kebelakang ternyata hanya ada Fatur yang berlari penuh keringat yang keluar dari seluruh tubuhnya. Aku dan Fahri hanya bisa tertawa dengan sedikit memelankan kecepatan lari kami. Ketika aku menengok kedepan ternyata sudah ada Fadil bersiap menangkap kami berdua. Tak ada cara untuk aku dan Fahri keluar dari tekanan mereka selain terbang keatas, namun kami tak punya sayap, bahkan aku tak menyangka Fadil dengan kecerdikannya membuat kami terkejut. Hap aku tertangkap oleh Fadil dan Fahri di tangkap oleh Fatur. Kami berdua diseret mendekati Faisal yang telah ditangkap oleh Fahma, meskipun merasa bersalah tapi kami ingin terus tersenyum mengingat ekspresi mereka ketika menjilat garam yang kami oleskan.
Tibalah kami di sebuah sungai yang bersih dan warna yang jernih. Matahari terus menantang dengan cahaya yang sangat panas dan berada diatas kepala kami. Blubuk blubuk blubuk seperti suara air dalam aquarium ikan, itulah suara air disaat aku, Faisal dan Fahri masuk kedalamnya. Fadil, Fahma dan Fatur tertawa dengan keras melihat kami basah kuyup. Mereka pun menarik tangan kami dan mengembalikan kami ke darat dengan seluruh tubuh di basahi air sungai. Kami pun ingin balas dendam kepada mereka.Dengan saling menatap dan terseyum aku, Faisal dan Fahri menarik tangan mereka dengan waktu yang bersamaan. Akhirnya kami sang Pemimpi untuk Dunia tercebur ke dalam sungai dengan bersama-sama.
“ber…. seger banget” Fahma berkata sambil kedinginan
“ayo kita pulang perutku sudah dangdutan”kata Fatur sambil memegang perutnya
“ah dasar kau Fatur, perut mulu yang di pikirin aku juga lapar ayo kita pulang” balasan Fahri sambil tersenyum atas ajakan
“sudah-sudah jangan banyak bicara kita adu cepat pulang saja lalu makan dirumah masing-masing dan nanti sore jangan lupa kita berkumpul di balai RW” Faisal berkata
“siap” kami berkata dengan kencang dan berbarengan sambil mengangkat tangan seperti hormat kepada Sang Merah Putih
“satu… dua…. tiga…” aku memberikan aba-aba untuk pulang
2 jam sudah kami beristirahat, dan harus berkumpul di balai RW. Sesampainya aku di balai RW, ternyata belum ada seorangpun temanku yang sudah sampai. Aku pun hanya menunggu di teras balai RW menunggu teman-teman datang dan melakukan hukuman yang diberikan. Tiba-tiba Pak Munajat datang bersama Fahma dan berkata
“kau sudah lama disini?” Fahma bertanya kepadaku
“iya aku sudah 20 menit menunggu di teras” jawabku
“Keluargamu tidak memberitahumu?” Tanya Pak Munajat dengan seriusnya
“tadi ketika aku selesai mandi ibuku pergi dengan terburu-buru menuju rumah tetangga dan aku tak tahu siapa tetangga yang akan dia datangi” penjelasanku
Fahma tiba-tiba mengeluarkan air mata dan memelukku dengan erat. Dengan suara pelan Fahma membisikkan kata kepadaku “Faisal telah meninggal” itu kata yang terucap dari bibir Fahma
Seketika tubuh ini lemas seolah tulang-tulang tak menegakkan badan ini. Akupun menangis dipelukan Fahma. Aku teringat kenangan-kenangan bersama Faisal sang Pemimpi yang Bijak itu, dan air mataku pun turun membasahi baju Fahma. Pak Munajat pun mengajakku untuk bertemu dengan Faisal untuk yang terakhir kalinya. Tapi rasa tak percaya masih terus berkata dalam hatiku namun semua itu terjawab ketika di gang menuju rumah Faisal terdapat bendera kuning. Rasa tak percaya ditinggalkan sahabat secepat ini membuatku hanya bisa terdiam melihat rumah Faisal. Dan terpaku sambil memegang pagar itulah yang bisa kulakukan. Fatur, Fadil, dan Fahri telah ada dirumah duka berdiam di pojok rumah sambil menangis dan berpegangan tangan dengan erat. Bau kamperpun terus menusuk di lubang hidung ini, namun itulah wangi terakhir dari Faisal.
“ayo kita menemui Faisal” kata Fahma
“iya mungkin dia sudah rindu ingin bertemu kita sebelum dia pergi” jawab Fadil sambil menahan tangis
Kami pun pergi melihat Faisal dan menangis sambil mengatakan apa saja yang harus dia dengar dari mulut sahabatnya. Sampai akhirnya Faisal dimakamkan kami terus mengantarkannya mengiringi jalan-jalan dunia yang terakhir kali dia akan lewati. Butir-butir tanah terus berjatuhan begitu pula air mata kami terus mengalir bersamaan. Kami pun memutuskan untuk bertemu dengan keluarga Faisal dan berbincang-bincang sekedar menghilangkan rasa sedih ini.
Bukit Impian telah kehilangan seorang Pemimpi yang ingin menjadi psikolog untuk memperbaiki moral bangsa yang sekarang telah kembali untuk pulang bertemu dengan sang Pencipta. Teriakan kemarin adalah teriakan terakhir 6 Pemimpi namun bukan akhir dari teriakan 5 Pemimpi yang masih mencoba untuk tetap melaju pada tracknya masing-masing, Sebuah pelajaran hidup yang selalu Faisal ajarkan akan menjadi sebuah kisah klasik untuk di kenang dan di bangga-banggakan di masa depan.
5 tahun berlalu sekarang adalah tahun 2017 tepat tanggal 11 september, 5 Pemimpi datang lagi ke bukit Impian untuk melihat apakah mereka telah mendapatkan mimpi-mimpi mereka. Berjalanlah kami menyusuri jalanan yang masih berupa tanah yang sama seperti dulu menggenggam tangan, bercanda sebentar dan berlari saling mengejar untuk mengenang masa lalu. Meskipun ada yang kurang tapi kami yakin Faisal telah meraih mimpinya yang mungkkin tak pernah kami tahu apa mimpi itu. Botol-botol yang tergantung di batang pohon mendekat dan terus mendekat, tulisan yang tertempel pun terus mendekat. Satu orang mengambil satu botol dan kertas untuk membacakan mimpi-mimpi untuk dunia yang di tulis 5 tahun yang lalu.
“hom pim pah layum gambreng ma ijah pake baju rombeng” ucapan kami
Akhirnya aku mendapat giliran pertama, aku boleh membawa 2 botol dan 2 kertas. Fahma mendapat giliran kedua, Fadil mendapat giliran ketiga, Fatur giliran keempat, dan Fahri mendapat giliran yang terakhir
“cap cip cup kembang kuncup” kataku sambil menunjuk dengan jariku
“kau seperti anak kecil pak Presiden” saut Fahri sambil tertawa
“haha ayolah cepat ambil dan berdiri di belakang” Kata Fahma
“waw karena seorang pelari tingkat dunia jadi ingin cepat-cepat?” kata Fadil
“sudah-sudah ayo cepat” kata Fatur
Segeralah aku mengambil, kemudian dilanjutkan oleh teman-teman yang lain. Impian-impian itu telah ada di tangan saatnya membacakan
“mimpiku yang pertama ingin menjadi seorang pelari tingkat dunia yang mendapat banyak gelar dan penghargaan, yang kedua mendirikan sekolah pelari tingkat internasional di Indonesia, yang ketiga semoga cintaku di terima oleh Raisya, keempat ku berharap keluargaku bangga akan diriku, yang kelima aku ingin bersama sahabat-sahabatku dan berkumpul lagi di bukit ini, yang keenam semoga saja pohon ini tak ada yang menebang dan mimpi-mimpiku yang lain tak akan ku beritahu kepada kalian hahahaha” mimpi Fahma yang dibacakan oleh Fadil
“mimpiku yang pertama ingin menjadi seorang pengusaha yang berhasil meraih banyak penghargaan dan membantu orang-orang yang kesusahan, yang kedua aku ingin kuliah jurusan ekonomi di luar negeri, yang ketiga aku ingin memberikan sebuah mobil untuk Bapak dan Ibu, yang keempat semoga Santi menyukaiku juga dan mau menungguku sampai aku pulang kembali, yang kelima dan seterusnya aku tak mau memberi tahu kepada kalian ini rahasia” mimpiku yang dibacakan Fatur
“mimpiku menjadi seorang ilmuwan di bidang biologi, aku ingin memiliki laboratorium sendiri, terkenal di dunia, aku ingin sekolah ke luar negeri, mendirikan rumah sakit, kuharap Hasya menjadi asisten pribadiku dan selalu berada disampingku, mimpi yang lainnya nanti menyusul hahaha” mimpi Fadil yang dibacakan oleh Fahma
“mimpiku mempunyai sanggar seni pribadi, setiap puisi tentang Karina ku harap dia membacanya, mendirikan sekolah seni, bisa tampil di luar negeri, dan masih banyak lagi” mimpi Fatur yang di bacakan oleh Fahri
“mimpiku ingin menjadi pelukis tingkat internasional, seluruh karyaku dapat diterima oleh banyak orang, cerita-cerita pendek yang kubuat dapat di terbitkan di seluruh dunia, kuharap Belfa dapat menerima lukisan wajahnya yang kubuat sendiri dan masih banyak lagi mimpi ku” mimpi Fahri yang dibacakan olehku
Seluruh mimpi itu membuat kami tertawa karena pasti ada seorang perempuan yang kami suka di sebutkan di dalam mimpi itu. Wajah kami pun menjadi seperti tomat berwarna merah. Namun tersisa satu kertas mimpi di tanganku, mereka langsung melihat kertas yang masih tergulung itu. Rasa penasaran seakan tergurat dari wajah kami dan siap menerima semua yang dimimpikan oleh Faisal sahabat yang telah pergi. Akupun membacakan isi mimpi itu.
“mimpiku yang pertama aku ingin menjadi orang yang hidup lebih lama di dunia ini menemani keluargaku dengan senyumanku, yang kedua aku ingin jujur kepada sahabat-sahabatku bahwa aku terkena penyakit mematikan tapi semua itu sulit di wujudkan aku tak ingin melihat binar mata mereka menjadi mata yang berkaca-kaca, yang ketiga aku ingin sahabatku bangga karena telah mengenalku, yang keempat aku ingin mewarnai dunia dengan mimpi-mimpi dan harapanku dan yang terakhir aku mohon jangan panggil namaku sekarang” mimpi Faisal yang dibacakan olehku dengan menahan air mata
Raut wajah menangis terus terpancar dari wajah kami. Tak di sangka siBijak yang pandai memaknai hidup ternyata dia menghadapi hal yang sulit. Waktu itu Faisal wajahnya semakin pucat kami hanya selalu menganggap bahwa dia berubah menjadi pipi susu ternyata itu adalah penurunan kondisinya. Kami termenung terdiam dan mengeluarkan air mata.
Fatur berdiri dan berkata “dia sahabat yang baik”
“ayo kita alirkan mimpi-mimpi dalam botol ini nanti botol ini akan berlabuh di suatu tempat yang kita sendiri tak tahu tempat itu dimana dan tancapkan kertas-kertas mimpi di pohon impian” Fahma berkata
“ayo kita ke sungai tempat terakhir kita bercanda lima tahun yang lalu bersama Faisal” kataku sambil mengajak sahabat-sahabatku
Sebelum kami pergi ke sungai, kami menancapkan mimpi kertas itu di pohon impian yang abadi. Berlari dengan penuh semangat saling adu cepat menuju sungai tempat terakhir bercanda bersama Faisal. Semakin mendekat dan terus mendekat ke sungai penuh kenangan klasik semakin bercucuran air mata. Akhirnya kami sampai dan langsung masuk kesungai itu, mengenang masa lalu bersama Faisal dan dengan sekuat tenaga melemparkan botol impian ini untuk melaju di track mimpi yang sulit namun harus pasti bisa dilalui. Badan kami semuanya basah namun kami masih ingin berenang disini dan berkata dengan sekeras mungkin
“mimpi untuk dunia” sekeras mungkin kami berkata sambil tersenyum bangga.


Hati Kecil Yang Tertinggal


Ahsan menarik nafas sejenak, membuangnya seketika. Hatinya masih tampak labil meski ia sudah berusia kepala dua. Serta-merta ia masih teringat peristiwa tak terlupakan 5 tahun lalu saat ia diseret dari rumah temannya, menaiki mobil bak terbuka yang dikemas sedemikian rupa hingga tertutup rapat, menuju ke sebuah negeri yang ia sendiri belum pernah menjelajahinya. Ia tak mampu berontak saat itu karena ia masih dalam keadaan mabuk berat. Kala itu ia merasa heran mengapa ia diangkut ke sebuah mobil oleh seseorang tak dikenal, lalu dengan sekali tancap mobil tersebut melaju dengan kencangnya hingga ia tak menyadari bahwa ia telah meninggalkan rumahnya. Samar-samar ia melihat ayah dan ibunya yang berada di depan, di samping sang supir, hanya menangis tersedu-sedu, entah apa yang menjadi bebannya saat itu.

Sekarang ia menyadari bahwa ia takkan bertemu lagi dengan teman sekamarnya, seperti Furqon, Kholil, Fariz dan Hafidz. Furqon yang gemar men-tadarus Al-Qur’an dan setengah mati berusaha menerjemahkan dan menafsirkannya. Kholil yang sangat mengidolakan Hadrat As-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI. Fariz yang lancar berbahasa Arab dan terkadang terlihat jumawa saat berbicara. Hafidz yang paham betul seluk-beluk nahwu-shorof disertai sejarahnya. Itulah sekelumit kenangan yang bisa ia ingat disaat-saat seperti ini.

Ia sendiri merasa akan sangat merindukan Kyai Shalihin, sang Hadrat As-Syaikh di pesantren ini, dikarenakan keramahan dan kesabarannya dalam mendidik para santri meski ia sering terkena damprat sang kyai disebabkan kebodohannya dalam mata pelajaran nahwu-shorof. Bagi Ahsan, Kyai Shalihin begitu pandai merangkul masyarakat di sekitar pesantren Daarul Khilafah yang didirikan buyutnya, almarhum KH. Muhammad Nur Al-Syakuur. Itu terbukti, banyak dari mereka yang mendapatkan lapangan kerja baru semenjak berdirinya pesantren ini sehingga menghentikan kebiasaan buruk mereka yakni mabuk-mabukan, merampok dan membunuh.

Pernah ia suatu kali terlambat bangun tahajjud, keempat teman sekamarnya yang sudah melaksanakan shalat justru mengerjainya dengan menghamburkan titik-titik air melalui jari tangan mereka menuju ke wajahnya. Kontan saja ia terbangun seketika dan segera memasang kuda-kuda khas silat pesantren, ia memang terhitung jago dalam hal tersebut. Ia sedang bermimpi berkelahi dengan Fir’aun, penentang ajaran Nabi Musa as. Namun ia tak temukan lawan. Saat tersadar dan dengan suara lemas, khas seperti orang yang baru terbangun dari tidur, ia berteriak “bocor, bocor!!!”, teman-temannya pun menertawainya dengan puas. Terang saja, atap dari kamar mereka terkadang bocor saat hujan deras tiba dan inilah yang terlintas di pikiran Ahsan saat terbangun saat itu.

Satu lagi yang sulit ia lupakan, ialah pesantren Daarul Khilafah yang telah bersamanya selama lima tahun terakhir. Suasana pesantren yang hijau, asri, ditambah pula dengan teman-teman sesama santri, keluarga ndalem dan juga masyarakat sekitar yang sangat ramah kepada siapapun, seakan semakin menambah berat baginya untuk meninggalkan pesantren tersebut kendati sudah tiba saatnya. Kyai Shalihin yang tak pernah berhenti tersenyum meski sudah kian renta, para santri yang ramah, teman sekamar yang sudah bak sahabat karibnya, itu semua sulit dilupakan.

Ia memang tak mengerti, mengapa harus ada perpisahan di dunia ini disaat ianya masih mendambakan sebuah pertemuan. Meski akhirnya waktulah yang memisahkan ia dengan pesantren tersebut, ia paham betul bahwa ia akan sangat merindukannya suatu saat nanti. Ia merasa ilmu yang dimilikinya masih belum cukup kendati ia terhitung santri senior disini hanya karena usianya yang sudah lebih tua dari santri lainnya, bukan karena ilmu yang dimilikinya. Ya, ia pulang dengan segera dan sedikit terpaksa karena dengan tiba-tiba ibunya datang dari Jakarta lalu seketika berencana memulangkannya. Sungguh ironi. Disaat ia sedang sangat bersemangat belajar di pesantren ini, ia justru harus pulang secara mendadak.

“Shalatullah salamullah ‘ala thaha rosulillah. Shalatullah salamullah ‘ala yasin habibillah…….”

Senandung shalawat terdengar jelas dan mengiang-ngiang di telinga Ahsan saat ia akan beranjak dari tempatnya duduk sekarang. Lima tahun sudah ia mengenyam suka duka di pesantren ini, walau ia masih sulit memahami pelajaran nahwu-shorof dari Kyai Shalihin, kyai yang dikaguminya, serta bahasa Arab yang didapat dari Kyai Mahfudz, lurah pondok. Tak terasa sudah begitu lamanya ia meninggalkan sanak famili di rumah. Lima tahun adalah waktu yang sangat lama saat ia harus bersentuhan dengan hiruk-pikuk pesantren yang serba ketat, tetapi begitu sekejap saat ia melangkahkan kakinya menuju gerbang pesantren diiringi nyanyian-nyanyian shalawat dan alunan musik rebana.

Sebelum benar-benar meninggalkan kawasan pesantren, ia berbalik arah sejenak mencari-cari keberadaan keempat sahabat karibnya, teman sekamarnya. Ia sedikit mengangkat tumitnya dan berdiri dengan tekukan jari kakinya, untuk melemparkan pandangan ke arah yang lebih jauh. Kyai Shalihin, Nyai Fatimah, Ibunya beserta para mursyid dan santri senior terkejut melihat tingkah Ahsan tersebut. Dengan penuh rasa penasaran, mereka juga turut membalikkan tubuhnya seraya mengikuti Ahsan. Semua terdiam menatap tingkahnya kecuali grup musik rebana yang mengiringinya. Raut mukanya sedikit gelisah menantikan mereka.

“Ahsan, ayo pulang nak!” bujuk ibunya.
“Tunggu dulu Bu!” jawab Ahsan sembari mengangkat tangan kanannya setinggi bahu.
“Waktu kita sudah sempit, apa yang kamu tunggu lagi?”

Ahsan tak menjawab pertanyaan ibunya. Seketika lambaian tangan Furqon, Kholil, Fariz dan Hafidz dari kejauhan mengukir senyum simpul dibibirnya, pertanda bahwa ia terlihat bahagia saat itu. Keempat temannya tersebut berusaha sekuat tenaga menerobos kerumunan para santri yang begitu sesak di hadapan mereka sambil memanggil-manggil nama Ahsan. Sesaat setelah semuanya berhasil keluar dari kerumunan itu, mereka mengatur nafas sejenak. Dilihatnya sekeliling mereka yang dipenuhi ratusan pasang bola mata yang dipenuhi rasa penasaran yang luar biasa mengenai tindakan mereka tersebut, serta menantikan apa yang akan terjadi setelahnya.

Setelah beberapa saat terdiam, dalam hitungan detik terpampanglah sebuah pertunjukkan yang sarat akan luapan emosi yang tak terkira dalamnya. Para sahabat karib itu berpelukan erat seakan sedang meluapkan kerinduan yang luar biasa tulusnya. Siapa pun yang melihatnya, seakan turut merasakan apa yang berada di lubuk hati mereka. Siapa pun yang menyaksikannya seakan bersimpati, bahkan berempati, merasakan setiap titik emosi yang tercurahkan dari dalam diri masing-masing. Hati mana yang tak teriris oleh ironi dan tergores oleh pilunya pemandangan yang tertera di depan mata. Tanpa diduga, mengalirlah tetes demi tetes air yang keluar dari setiap insan yang hadir dalam pertunjukkan memilukan itu, tak terkecuali ibu Ahsan, Kyai Shalihin dan Nyai Fatimah.

“Jangan lupa pesan Kyai Shalihin, amalkan ilmu sampean yo!” ujar Hafidz seraya mengingatkan Ahsan sembari menepuk bahunya keras-keras.

“Insya Allah. Doakan yo, semoga ilmu-ilmu kawula bermanfaat!” jawab Ahsan dengan suara lantang sembari meniru bahasa dan gaya bicara teman-temannya, masyarakat sekitarnya.

Semua pun tersenyum senang sekarang tanpa kecuali. Ahsan kembali memutar tubuhnya menghadap sang ibu, serta Hadrat Asy-Syaikh dan istrinya. Terasa ada sesuatu yang menyokongnya dari dalam dada, yang mengisyaratkannya untuk memperkuat dirinya, untuk melihat ke depan, melihat ke masa datang. Ibu Ahsan, Syarifah, mengulurkan tangannya kepada Ahsan seraya mengajaknya pulang. Sekarang pun seakan Ahsan tidak merasa terberat lagi akan keputusan sang ibu dan kedatangannya yang begitu mendadak. Seumur-umur, orangtua Ahsan akan memberitahunya saat mereka akan mengunjunginya ke pesantren, namun tidak dengan saat ini.

Dengan suara rebana yang kembali berkumandang di aula pesantren, mendendangkan shalawat atas Nabi, Ahsan memberanikan diri untuk mendekati ibunya. Iring-iringan shalawat seperti Yaa Khoiro Maulud, Shalatullahi Wassalam, Miftahul Jannah dan lain sebagainya seakan bergantian keluar dari lisan-lisan ikhlas nan tulus para penyanyi rebana. Sementara itu, Ahsan mencium tangan Kyai Shalihin dan para mursyid yang hadir disitu, utamanya para mursyid laki-laki. Ia berpamitan dengan mereka sembari meminta maaf atas kesalahan-kesalahannya yang pernah ia lakukan semasa nyantren, utamanya dengan Kyai Shalihin. Tak lupa ia juga meminta doa Kyai Shalihin seraya mengharapkan harapan-harapan baik, juga pesan-pesan yang ingin ia dengar dari mulutnya secara langsung. Ia sangat menyeganinya.

“Fastabiqul Khoirot-lah Cung!”

Ahsan mengunci rapat pesan Kyai Shalihin yang satu ini saat mendengarnya. Sejak pertama tiba, kalimat inilah yang pertama kali ia dengar.

Ahsan bersiap menaiki mobil ibunya. Namun lagi, ia membalikkan tubuhnya menghadap gerbang pesantren yang besar, aula pesantren yang terlihat sesak oleh kerumunan para santri yang mengantar kepergiannya. Ia lambaikan tangan kepada mereka sembari berusaha untuk terus menampakkan senyuman lebar dibibirnya. Seketika cukup, ia mulai membuka pintu mobil didepannya lalu masuk. Ia buka kaca jendela mobilnya sekedar melihat ke arah gerbang besar disisinya.

“Assalamu’alaikum!!!”.

Teriak Ahsan, nyaring dan menggema, dari dalam mobilnya. Lalu terdengarlah jawaban serempak dari luar mobil, pertanda bahwa mereka telah saling menerima apapun yang sudah digariskan Allah saat ini.
Ahsan telah siap meninggalkan pesantren Daarul Khilafah yang telah menemaninya selama 5 tahunan. Ia dan ibunya pula telah siap pulang ke Jakarta. Seketika, sang supir segera membunyikan mobil. Dan dalam sekali tancap, mobil tersebut melaju ke tempat tujuan yang jauhnya ratusan kilometer.


Empat Serangkai


Disuatu ketika, disebuah sekolah SMP yang indah nan megah, tahun ajaran baru dimulai, banyak orang tua yang mendaftarkan anaknya untuk bersekolah disekolah tersebut. Beberapa hari setelah pendaftaran waktu mospun dimulai, disebuah gugus depertemukanlah mereka, mereka adalah Lucy, Reno, Rahmad, dan Danu. Lucy adalah sesosok wanita yang cantik nan pintar, dan hampir seluruh lelaki disekolahnya menyukainya, Reno adalah seorang anak pejabat,dia juga trendy dan dia sedikit sombong, Rahmad adalah seorang anak desa yang hijrah dari desanya untuk pergi kekota karena mendapat beasiswa dan dia tergolong murid yang pintar, sedangkan Danu adalah seorang kapten basket dan ketua osis,dia adalah anak yang paling aktif disekolahnya. Pada awalnya mereka hanya biasa-biasa saja, namun sejak mereka duduk berdekatan mereka semakin dan bersahabat,mereka selalu melakukan apapun bersama. Dari belajar, berangkat dan pulang sekolah, hingga jalan-jalanpun mereka bersama.

Pada suatu saat Rahmad tidak masuk kesekolah, entah apa yang terjadi, Lucy, Reno, dan Danu sangat khawatir dengan Rahmad, bahkan mereka hamper kerumah Rahmad untuk melihat apa yang terjadi, namun Reno melarangnya, karena menurutnya dia tidak kenapa-napa. 1 minggu berlalu,namun Rahmad tak kunjung masuk. Lucy dan Danu semakin khawatir dengan Rahmad, sedangkan Reno hanya tenang-tenang saja, kemudian Lucy memarahi Reno karena Reno tak memikirkan Rahmad sama sekali, Mereka beradu mulut, dan semakin lama semakin hebat pertengkaran mereka, “Sudahhhhh” Danu berteriak dengan kencang, dan mereka berdua langsung diam sekejap, “Sekarang bagaimana bila kita ke rumah Rahmad saja?” Lanjut Danu, “Baiklah, apa kamu setuju Reno?” kata Lucy dengan nada sedikit marah, “Baiklah mau bagaimana lagi, dia kan juga sahabatku” ucap Reno dengan tersenyum. Merekapun langsung berangkat kerumah Rahmad menggunakan sepeda mereka. Setelah sampai disana, apa yang terjadi, dari luar mereka melihat Rahmad terbaring lemah disebuah kasur yang lapuk dengan muka yang begitu pucat. Spontan, Lucy, Reno dan Danu langsung menjatuhkan dan meninggalkan sepeda mereka dipinggir jalan, Lucy menangis dan bertanya-tanya “Apa yang terjadi padamu Rahmad?”, dia bertanya berkali-kali kepada Rahmad, namun Rahmad hanya menjawab dengan senyuman. Reno dan Danu pun ikut menangis, mereka bertiga menangis disamping rahmad yang hanya tersenyum sedari tadi. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu “Assalamualaikum, Rahmad!” “Waalaikumsalam”, ternyata itu adalah Ibu Tati ibunya Rahmad, “Ada apa kalian kemari, dan kenapa kalian menangis?” tanya Ibu kepada Reno,Lucy dan Danu, namun mereka tak menjawab dan mereka meneruskan tangisan mereka .“Bu, Rahmad kenapa, kenapa bu? Ada apa dengannya?” tiba-tiba Lucy bertanya dengan keadaan panik dan menangis tak henti-hentinya, “Ehm, bagaimana ibu mengatakannya kepada kalian semua?” “Memangnya Rahmad sakit apa bu?” Tanya Reno dengan gelisah “Ehm, Rahmad menderita penyakit Anemia,ibu tidak bisa membawanya kedokter,karena tidak ada biaya!”,”Anemia bu?” Lucy, Reno dan Danu tersentak kaget.

Tiba-tiba Rahmad pingsan, “Rahmad kamu kenapa?” Lucy kaget, “Sebaiknya kita bawa dia kerumah sakit saja!” Ajak Danu. Sesampainya dirumah sakit Lucy,Danu,Reno dan Ibu Tati menunggu Rahmad yang diperiksa dengan sangat gelisah dan Ibu Tati tak henti-hentinya menangis. Setelah menunggu kira-kira 30 menit lamanya, dokterpun keluar dari ruangan tempat Rahmad diperiksa tadi, “Dok,ada apa dengan sahabat saya dok,ada apa?” tanya Lucy dengan paniknya, “Dia sangat lemah,darahnya sangat sedikit,kita harus segera mencarikan donor darah untuknya!” “Apa golongan darahnya dok?” tanya Reno dengan bimbang “A-“ “A-, itukan termasuk golongan darah yang langka!” Kata Danu dengan amat kaget, “Bagaimana kita mendapatkannya?” tanya Lucy kepada kedua sahabatnya, “Kita tanya Bu Tati dulu!” jawab Danu singkat, “Bu, apa golongan ibu A-?” “Saya tidak bisa menolong anak saya sendiri, golongan darah saya A+”, “Bagaimana ini?” kata Lucy kepada Danu dan Reno, Danu mengatakan sesuatu “Tunggu, aku ingat sesuatu, aku pernah melihat sebuah Kartu Pelajar dan disitu tercantum golongan darah A-! Iya Reno!” “Apa aku, kenapa aku?” “Reno….” bentak Lucy kepada Reno “Baiklah aku mengaku, bahwa golongan darahku A-“ “Reno, apa kamu mau mendonorkannya untuk Rahmad, sahabat kita!” tanya Lucy dengan amat memelas kepada Reno, Reno sempat menolak tapi akhirnya dia pun mau untuk mendonorkan darahnya kepada Rahmad, Sahabatnya. Sesaat Lucy telah memanggil dokter untuk melakukan pengambilan darah, dokter menyuruh Reno masuk kedalam ruangan, dokter menyuruh Reno untuk tidur di tempat tidur yang ada diruangan tersebut, “Lemaskan tangannya ya dek!” suruh dokter kepada Reno, setelah itu dokter menusukkan jarum yang menyambung dengan selang serta kantung darah ke tangan Reno. 15 menit kemudia pengambilan darah selesai, Reno dan dokter keluar dari ruangan lalu dokter masuk kamar Rahmad untuk segeran melakukan transplatasi darah, beberapa saat transplatasi selesai, dan Rahmad masih tak kunjung bangun, Lucy, Reno dan Danupun langsung pulang dari rumah sakit, karena hari sudah beranjak sore. 1 1/5 minggu Rahmad tak kunjung bangun dari komanya, setiap hari Reno, Lucy dan Danu selalu kesana untuk melihat keadaan Rahmad dan dengan harapan yang begitu besar agar Rahmad bisa terbangun dari komanya. Hari ini adalah hari minggu dan mereka pergi kerumah sakit lebih awal, sesampainya dikamar Rahmad ternyata tidak ada siapapun kecuali Rahmad sendiri, mereka berfikir mungkin bu Tati pulang untuk mengambil barang yang ia perlukan. Mereka duduk disamping Rahmad yang sedang koma, tiba-tiba kejadian yang mereka harapkan terwujud, tangan Rahmad bergerak dan beberapa saat setelah itu Rahmad membuka matanya, “Ak…aku ada dimana?” tanya Rahmad dengan agak gagap “Kamu ada dirumah sakit kawan, dulu waktu kita kerumahmu, kau pingsan dan kami membawamu kesini!” jawab Lucy dengan tangisan bahagia “Berapa lama aku disini?” “2 minggu” jawab Reno “Lama sekali, apa yang aku lakukan selama 2 minggu itu?” “Kau koma” “Ehm, ada yang aneh didalam diriku, kenapa aku sekarang tidak lemas lagi?, siapa yang mendonorkan darahnya untukku” “Sobat sebagian dari tubuhku ada apa dirimu!” Reno menjawab dengan tersenyum “Ren..Reno…ap..apa..apakah kamu? Aku sungguh berterima kasih kepadamu Reno” Rahmad pun langsung memeluk Reno, dan Lucy serta Danu ikut memeluk mereka berdua. Setelah Rahmad sehat, semua berlangsung seperti biasa, Reno semakin sayang kepada Rahmad, dan mereka berempat saling menyayangi satu sama lain.

2 tahun berlalu, tak disangka mereka telah menginjak kelas 9, mereka semakin rajin dan giat belajar, Rahmad selalu mengajarkan kemampuannya dalam pelajaran kepada sahabat-sahabatnya, setiap hari mereka melakukan kegiatan belajar bersama kerumah Reno, mereka pergi kesana menggunakan mobil Reno yang dia bawa kesekolah sejak kelas 9, mobil itu dari ayah Reno karena sewaktu kenaikan Reno mendapatkan Ranking 4, sungguh bangga ayah Reno karena anaknya menjadi seorang yang semakin pinar, rajin dan cerdas. Hari ini sekolah pulang lebih awal, karena guru sedang ada rapat Ujian Nasional, Lucy, Reno, Rahmad, dan Danu langsung ke parkir sekolah untuk mengambil mobil mewah milik Reno, mereka berempat segera naik dan keluar dari sekolah menuju rumah Reno, tiba-tiba ditengah jalan mobil Reno mogok “Ada apa ini, dasar mobil!” ucap Reno dengan amat kesal “Ada apa memangnya Reno?” tanya Danu “Biasalah mogok,sebentar ya aku cek dulu!” “Baiklah Reno”, tak berapa lama Reno selesai mengecek “Tidak ada yang rusak pada mesin, besin juga masih banyak. Ehm, teman-teman?” “Ada apa Reno?” jawab Lucy,Rahmad dan Danu serentak “Begini, apakah kalian mau mendorong mobil ini?” Reno berkata dengan meringis “Gitu aja kok, tenang aja, aku, Lucy dan Rahmad pasti bisa!” saut Danu “Iya dong” jawab Lucy dan Rahmad, kemudian mereka bertiga pun kebelakang mobil untuk mendorong, tak berapa lama kemudia mobil kembali menyala dan semuanya masuk kedalam mobil, mereka melanjutkan perjalanannya ke rumah Reno.

Hari yang menegangkan telah tiba, yaitu Ujian Nasional, 4 hari berlalu, Ujian Nasional telah selesai dan para murid harus menunggu sesuatu yang lebih menegangkan lagi, yaitu hasil dari usaha dan kerja keras mereka, nilai untuk melanjutkan sekolah ke SMA. Hari itu tiba dan Rahmad menjadi juara 1 seluruh sekolah dan nilai akhirnya sangat baik dan bagus sekali, yaitu 40.00 sedangkan Lucy mendapat juara 2 dengan nila akhir 39.02, Danu mendapat juara 4 dengan nilai akhir 37.55 dan Reno mendapat juara 7 dengan nilai akhir 35.30. Rahmad mendapat beasiswa untuk bersekolah di sekolah elit diJakarta, Reno diajak kembali kekampugnnya Bandung, Danu harus pergi ke Amerika atasa perintah ayahnya, untuk bersekolah basket disana dan Lucy ingin mencoba hal baru, dia pergi ke Prancis untuk sekolah fotography, dan mereka pergi dalam hari yang sama, sebelum pergi, mereka bertemu disebuah Rumah Pohon yang telah mereka bangun selama ini, disana mereka menangis karena harus melepaskan sahabat-sahabat yang telah menjadi belahan jiwa dan telah menjadi saudara, waktu tak lama, setelah berpamitan mereka pergi untuk kebandara dan menaiki pesawat yang berbeda-beda. Sepanjang perjalanan mereka berempat menangis sambil melihat album kenangan yang isinya terdapat foto mereka selagi mereka masih bersama dulu, didalam album foto terdapat foto saat mereka sedang senang,sedih,sakit,jatuh,waktu belajar,dan sebagainya.

Bertahun-tahun setelah perpisahan itu mereka telah menginjak umur 21 tahun dan menjadi orang yang sukses, sebelum tidur mereka hanya bisa melihat foto para sahabatnya dalam album kenangan, mereka tak bisa telepon atau chat, karena mereka tidak tau no telepon dan twitter atau facebook sahabatnya. Lucy menjadi seorang Fotograffer yang selalu menang dalam mengikuti kejuaraan dan seorang pengusaha yang sukses, Reno seorang Wali Kota Kota Bandung dan mempunya sebuah mall mewah yang tak jauh dari rumahnya, Rahmad menjadi seorang jurnalis terkenal yang telah menerbitkan buku-buku ternama dan juga seorang ahli bahasa yang telah berkeliling dunia, dan Danu ialah seorang atlet basket dan dia adalah kapten tim basket tersebut. Disuatu hari Lucy pergi kemonas untuk mengambil foto monas, dan ternyata Reno, Rahmad, dan Danu juga sedang berada disana, Reno kesana untuk berlibur dan cuti dari pekerjaannya sebagai Wali Kota, Rahmad dia sedang mancari inspirasi untuk novel terbarunya dan Danu sedang bermain basket bersama timnya karena itu adalah tempat tongkrongannya. Saat Lucy sedang memotret monas tiba-tiba ada orang yang menabrak Lucy “Hati donk mas” “Oh iya mbak!” jawab orang itu sambil membereskan barang-barang yang berjatuhan, tak sengaja Lucy melihat fotonya dan Rahmad didalam sebuah foto yang jatuh dari dalam tas orang tersebut, dan spontan Lucy berkata “Rahmad” “Siapa anda kenapa anda tau nama saya?” Lucy pun langsung memeluk Rahmad sambil berkata “Mad, ini aku Lucy” “Lucy..” mereka pun meneruskan pelukannya, kemudian mereka pergi keatas menara monas untuk mengobrol dan melihat-lihat pemandangan, tak disengaja seorang terjatuh tepat dibelakang mereka berdua, spontan mereka menoleh dan apa yang mereka lihat, ialah sebuah foto yang didalamnya terdapat gambar Lucy, Reno, Rahmad, dan Danu “Si,,siapa kau?” tanya Lucy “Saya,, saya adalah Reno Satya Dwiantoro Wali Kota Bandung” jawabnya dengan senyuman “Apa kamu Reno” “Iya, memangnya kenapa?” “Kami berdua ini..Lucy dan Rahmad” “Apa,,kawan lamaku!, sahabat terbaikku seumur hidupku!” mereka bertiga saling berpelukan. Setelah lama diatas merekapun turun dan sengaja melewati lapangan basket, tiba-tiba kepala Reno terkena bola basket “Mas hati-hati” “Ya lo yang hati-hati, udah tau ada orang main basket” sentak orang tersebut kepada Reno, “Danu” Lucy berkata, dia berkata Danu karena dia melihat nama dada yang bertuliskan DANU, “Ya aku Danu, tepatnya Danu Bugi Lesmana” “Benarkah!,ini aku Lucy dan ini Reno dan Rahmad!” Spontan mereka berempat kaget dan mereka saling berpelukan dan mengobrol hingga larut malam tak mempedulikan waktu.

1 minggu berlalu,waktu libur dan cuti mereka telah usai, masing-masing kembali seperti biasa, pertemuan itu sungguh indah dan mereka saling bertukar no telepon, twitter atau facebook, dan mereka saling berhubungan bahkan saat pernikahan Lucy, hal yang dimpi-impikan Lucy terkabul, yaitu hadirnya sahabat terbaiknya Reno, Danu, dan Rahmad.


Miskin Mendadak


Dylan seolah hanya terpaku pada majalah yang ia baca dan bawa ke sekolah. Dia tak memperhatikan teman-temannya yang ribut. Terganggu sih, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena dia kaum minoritas di kelasnya. Begitu juga dengan yang lain. Mungkin yang ribut hanya kelompoknya Nina.

Sebenarnya bila ada kesempatan, sungguh ia ingin melempar bibir salah satu temannya(sebenarnya orang yang tidak sengaja disatukan dalam kelas yang sama) yang bernama Nina dengan bangku kayu. Tapi ia tahu, segalanya dilindungi hukum. Begitu juga dengan yang lain, malah saat doa malam salah satu temannya, Glory, berdoa agar karma selalu bersama Nina setiap saat. Kalau bisa, cepat-cepat almarhumah.

Nina anak brandal yang sok high class, ditaktor kelas, dan umm… sulit dikategorikan sebagai manusia karena tidak memiliki akal budi. Dia memang seorang yang kaya dan wajahnya cukup cantik. Tetapi karena kelakuannya membuat siapapun merasa berdosa bila menyebutnya cantik.

“Bisa kalian hening sebentar? Pak Heru sebentar lagi ke sini! Berisik sekali!” seru Belinda, ketua kelas. Saking kesalnya, tak heran dia sering mengumpat Nina dalam hati. Dan, tak jarang Linda disindir dan dimaki Nina karena Nina sirik dengan Linda. Entahlah bagaimana jadinya bila Nina jadi ketua kelas.

Pak Heru tiba di kelas dengan setumpuk kertas latihan. Dylan segera memasukkan majalahnya ke dalam loker. Pak Heru memanggil Dylan untuk membagikan latihan matematika itu ke teman-temannya. Setelah dibagikan, tentu saja dikerjakan. Dylan mengerjakannya dengan santai, tetapi dia mendengar desisan dan ternyata itu Nina. Biasalah, minta jawaban dengan berbisik-bisik. Tetapi Dylan pura-pura tidak mengerti dan melupakannya. Ia tetap fokus ke latihannya.

Akhirnya jam terakhir, matematika yang membosankan itu usai dan artinya saatnya pulang! Tumben sekali Dylan lemas. Dia merebah di kamarnya dan kakak perempuannya, Diana. Dylan berbeda dengan Diana. Dylan lebih sembrono, tomboy, tapi lebih sabar. Tapi apapun itu, mereka sama-sama hobi tidur.

Sebuah sms masuk ke ponsel Dylan, ternyata dari Wendy, teman sekelasnya. “Entalah semua. Berita buruk bukan, gembira juga jahat sekali. Intinya, Nina kecelakaa! WOW! Kabarnya sih besok tidak masuk sekolah! :D” lalu Dylan membalas, “O.”

Esoknya, semua heboh menceritakan Nina. “Katanya sih Nina shock dengar ayahnya bangkrut trus mau bunuh diri. Eh, nggak taunya nggak jadi ko-it! Katanya tulang ekornya patah otomatis dia nggak di sini lagi dan pindah ke SLB kalau dia sudah membaik.” Jelas Danish, orang yang terpaksa menjadi teman se-gank Nina.
“Terus kalian mau nyumbang berapa nih untuk Nina?” tanya Bu Henny.
Semua saling menoleh, “Um… sebenarnya saya mau nabung, Bu.” kata Dylan. Dia tidak mau nyumbang, begitu dengan yang lain. Semua langsung mendadak miskin. “Yang penting ikhlas kan? Nah, kita nggak ada yang ikhlas….” tambah Danish.
“Astaga… kalau begitu kapan kalian jenguk?” tanya Bu Henny lagi.
“Yah, kita sibuk banyak ulangan. Mau belajar.” jawab Tere. Semua mendadak rajin belajar. Segitu bencinya mereka dengan Nina. Nina juga merasa tersinggung karena tidak ada yang menyumbang. Mungkin yang menyumbang hanya kelas 7 dan 8. Seluruh kelas 9 tidak ada yang menyumbang. Biayanya kurang dan menyebabkan penyembuhan Nina tidak optimal. Itu tidak menyebabkan kelas 9 kasihan ataupun menyesal. Malah kelas 9A sampai 9D tentram tanpa Si Buas, Nina. Nina akhirnya sekolah di SLB. Dia sudah berubah. Dia sadar semua temannya membencinya sehingga tak ada satupun yang mau membantunya. Tapi, kenapa dia sadarnya setelah matanya tak dapat melihat lagi? Bukankah lebih mudah memahami saat bisa melihat? Pain makes people change.


Sahabat Tak Sebanding Dengan Pacar


“ Mata ini tak mampu memandang kebenaran yang Haq, hanya hati yang sanggup merasakan manakah yang benar dan mana yang salah. Kebenaran yang dilihat oleh mata kadang tak sama dengan apa yang dirasakan oleh hati. Mata mampu mengelabui setiap kejadian didepannya tapi tak ada satupun yang mampu mengelebui mata hati kita. “

Dan itu lah yang terjadi pada dua kawan yang menjadi lawan. Reika gadis biasa dari keluarga sederhana ia memiliki sikap toleran kepada sesama, rendah hati dan ramah. Ia memiliki seorang sahabat yang sangat ia sayangi namanya Aulia, ia anak orang kaya keluarganya begitu memanjakan Aulia. Namun, ia tak bangga atas kekayaan yang dimiliki orang tuanya, baginya kasih sayang lah yang sangat berharga.

Mereka bersahabat sejak SMP, dan sekarang mereka juga satu sekolah di SMA favorit di salah satu kota Bandung, Reika mendapat beasiswa disekolah tersebut sedangkan Aulia adalah anak pemilik dari Yayasan sekolah tersebut. Mereka seperti kakak adik kemana-mana selalu bareng, prestasi mereka juga selalu bersaing. Namun, keduanya sangat sportif dan tak mempermasalahkannya. Kebersamaan mereka sampai membuat orang-orang yang melihatnya iri, tak terkecuali Rinda anak kepala sekolah yang sangat manja, apapun kehendaknya harus selalu dituruti.

Hingga suatu hari ia mempunyai rencana untuk memisahkan dua sahabat ini. Ia meminta bantuan kepada Randa saudara kembarnya untuk mendekati mereka berdua yaitu Aulia dan Reika agar mereka mengira bahwa Randa menyukai mereka. Akhirnya Randa pun menjalankan rencana mereka itu. Randa mendekati satu persatu baik Aulia maupun Reika. Ternyata baik Aulia maupun Reika juga suka kepada Randa. Akhirnya Reika yang mengalah biarlah Randa dengan Aulia toh mereka juga cocok.

Akhir-akhir ini, Aulia jarang banget bareng sama Reika. Karena ia lebih sering diajak jalan bareng sama Randa. Dan itu kesempatan buat Rinda untuk mengahasut keduanya (Reika & Aulia). Hingga akhirnya Aulia sangat membenci Reika, ia beranggapan bahwa Reika adalah sahabat yang hanya memanfaatkan kekayaannya saja. Ia juga menuduh Reika bahwa dirinya tidak suka melihat Aulia dan Randa pacaran. Karena sebenarnya ia juga dengan Randa. Tuduhan demi tuduhan dihantamkan Aulia kepada Reika. Reika yang memang tidak seperti itu adanya mencoba membela diri dan menjelaskan apa adanya kepada Aulia. Namun, Aulia sudah buta oleh hasutan Rinda dan Randa.

Reika menyesalkan sikap Aulia yang seperti itu, ia sangat menyayangkan perubahan yang terjadi pada Aulia. “Kenapa, ada apa dengan mu Aulia?” bisik Reika ditengah hujan yang sedang menemani langkah pulang sekolahnya. Beruntung hujan turun saat itu sehingga tak banyak yang tahu bahwa sebenarnya ia sedang menangis, terluka hatinya oleh pisau yang ditancapkan oleh sahabatnya sendiri. Aulia tak lagi memandangnya sebagai sahabat. “Ya Tuhan inikah seorang kawan yang berubah menjadi lawan?” bisiknya lagi sambil menangis.

Mana Reika dan Aulia yang dulu, yang selalu bersama kemana-mana. Yang selalu kompak dalam segala hal. Mulai hari itu suasana sekolah tak dihiasi oleh tawa mereka. Semua seisi sekolah merindukan akan tawa mereka. Hanya Rinda yang merasa bahagia akan hancurnya persahabatan Reika dan Aulia. Reika sangat bersedih akan kejadian ini.

Hingga suatu hari, Aulia yang berniat akan menemui Randa dikelasnya tidak sengaja mendengar percakapan Randa dan Rinda mengenai dirinya dan Reika. Sontak itu membuatnya kaget, tak disangka ternyata mereka tega melakukan itu kepadanya. Tanpa pikir panjang Aulia langsung memutuskan Randa dan menampar mereka berdua yang dengan sengaja merencanakan semua itu.

Aulia berlari sambil menangis menuju kelas Reika, sambil menyesali sikapnya yang telah mengorbankan persahabatannya demi laki-laki yang hanya mempermainkan dirinya untuk memisahkannya denagn Reika. Namun, sesampainya dikelas ia tidak mendapati Reika dibangkunya. Ia menanyakan kepada teman sekelasnya, dan ternyata sudah 3 hari ini Reika tidak masuk sekolah, kabar terakhir katanya ia masuk rumah sakit.

Serasa disambar petir disiang bolong, hatinya menangis kenapa ia sampai tidak tahu kalau Reika masuk rumah sakit. Sakit parahkah ia hingga harus dirawat di rumah sakit. Setahu ia, Reika tidak punya penyakit apa-apa. Setelah sampainya dirumah sakit ia bertemu dengan ibunya Reika, beliau kelihatan sedih dan pasrah duduk didepan ruang ICU. Aulia semakin takut, sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan Reika. Tak berapa lama dokter keluar dari ruangan ICU, ia berkata “ibu, yang tabah serta jangan henti2nya mendoakan Reika, kita hanya bisa menunggu keajaiban dari-Nya. Refleks ibunya Reika semakin keras nangisnya. Tubuhku, serasa lemas jantungku berdetak kencang. Ya Tuhan, sebenarnya apa yang terjadi dengan Reika. Maafkan aku Reika, maafin semua kejadian kemarin, bisik Aulia dalam hati sambil terus berjatuhan air mata dipipinya. Setelah cukup tenang, ibunya Reika cerita bahwa sebenarnya Reika mengidap sakit Leukimia sejak 2 tahun terakhir ini. Ia menyembunyikan penyakitnya dari orang2 yang ia sayangi, termasuk ibu dan sahabatnya.

Lagi2 petir itu menyambar tepat dihatinya Aulia, kabar ini membuatnya semakin merasa bersalah kepada Reika. Sebelum dirawat dirumah sakit Reika menitipkan surat kepada ibunya untuk diberikan kepada Aulia. Reika juga bercerita kepada ibunya tentang selisih antara keduanya, tapi Reika sama sekali tidak pernah dendam kepada sahabatnya itu, ia justru sangat bersyukur memiliki seorang sahabat seperti Aulia.

Aulia masuk keruangan Reika dirawat, setelah mengungkapkan semuanya dan meminta maaf kepada Reika, tak lama Reika siuman dan senyum kepada Aulia sambil berkata “aku telah memaafkanmu jauh sebelum kamu mengetahui tentang rencana mereka”. Tak lama kemudian Reika kembali meutup mata untuk selama2nya, air mata Aulia membanjiri ruangan sambil memeluk sahabatnya ia berbisik kau kawan bukan lawan bagiku. Terima kasih dan maaf atas semua perbuatan ku. Tunggu aku disana sahabatku, Reika.


The Shining Stars


Malam ini bintang bintang sedang bersinar dengan terangnya, bulan pun tidak kalah memancarkan cahayanya, menyembunyikan kegelapan malam. Hal ini membuat Carrisa sangat senang, karena ia bisa melihat bintang sepuasnya. Berbeda dengan Casey, Sahabatnya yang memejamkan mata ke arah Carrisa seakan keindahan malam ini tidak menarik untuknya. Tapi dibalik itu tersimpan sebuah masa lalu.

“ Casey, jangan bilang kau terpesona dengan wajahku.” Carrisa mengalihkan pandanganya pada Casey sambil memasang wajah geli.

“ Apa ? yang benar saja. Mataku tertutup. Kau pikir aku penyuka sesama jen ~ ah sudahlah.”

“ haha. Tenang tenang aku juga bukan tipikal wanita seperti itu.” Kekeh Carrisa

“ Bagus. Bagaimana kalau kita pulang, sudah hampir 2 jam kita berbaring di rumput ini dan kurasa kulitku sudah membeku sekarang.”

“ Ah ayolah. Apakah kau tidak bisa menikmati apa yang sedang kunikmati sekarang. Menatap keindahan dunia malam. Bintang, Bulan, Semilir angin dan hal lainnya. Itu mengasikkan Casey.”

“ Dan aku tidak suka.” Protes Casey

“ Selalu itu yang kau ucapkan setiap kita kesini. Aku tahu kau sahabatku, tapi kalau kau tidak menyukai rutinitas ini sebaiknya kau tidak usah ikut. Padahal yang kudengar dari Ibumu kau suka sekali dengan ilmu astronomi dan meneliti langit.”

“ Memang. Dan sekarang aku sudah tidak tertarik.”

Carrisa menghela nafas. Inilah yang selalu Casey jawab jika dia sudah mulai mengungkit tentang hal semacam ini. Casey akan berubah menjadi wanita yang menyebalkan dan ketus. Tapi, Carrisa adalah sudah menjadi sahabatnya sejak 5 tahun lalu dan pergi ke tempat ini nyaris setiap minggu, seharusnya dia sudah tau apa yang menyebabkan Casey seperti ini. Keheninganpun kembali tercipta.

“ Aku tidak tahu apa yang membuatmu seperti ini Casey. Tapi kau harus tahu bahwa aku kesini karena aku merindukan orangtuaku. Mereka bilang mereka akan selalu ada diantara hamparan bintang. Dan aku mengajakmu hanya untuk menunjukan bahwa aku tidak kesepian disini. Karena aku memiliki sahabat.”

Carrisa mulai angkat bicara. Sedangkan Casey hanya memejamkan matanya seolah yang dikatakan Sahabatnya ini angin lalu. Dia malas membicarakan hal yang berbau kematian dengan sahabatnya ini.

“ Ah, dan kau harus tahu juga Casey. Jika aku sudah tidak ada didunia ini lagi aku juga ingin menjadi bintang, yang paling bersinar.”

“ kurasa kau tidak normal Carrisa. Mana mungkin kau ingin menjadi sebuah bola gas yang panas ? dan menjadi yang paling bersinar ? itu artinya kau bintang paling panas. Carilah tempat trasformasi lain.”

“ aku tahu kalau bintang itu berasal dari bola gas. Orang orang bahkan tidak mau mendekatiku dari dekat. Tapi, bukankah semua orang menyukai bintang yang terlihat dari jauh ?”

“ Semua orang kecuali aku.”

“ Benarkah ? mungkin kalau aku mati kau akan menyukai bintang.”

“ Berhentilah membicarakan kematian Carr. Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau pergi sekarang. Dan tentu saja aku akan makin membenci segala tentang malam hari.”

“ menyeramkan sekali mendengarmu sampai harus membenci malam hari.” Carrisa menggelengkan wajahnya mendengar ucapan sahabatnya itu.

“lalu apa yang bisa kulakukan agar kau tidak menyalahkan kematianku ?”

“ Tetap hidup dan menjadi sahabatku hingga kita sudah dewasa dan aku sudah merelakanmu pergi.”

—————–

“ Carr, tidak apa kan aku tidak menemanimu pergi ke taman kota malam ini ?” Ucap Casey dari telefon.
“ Ah, akhirnya kau mengakui juga kalau kau tidak suka hal yang berbau malam. Seperti Bintang misalnya .” Carrisa menjawab dengan sedikit terkekeh.
“ Bukan bukan. Malam ini aku ikut latihan Tari. Kau tahu kan dua hari lagi sekolah kita akan mengadakan Lomba ?”
“ Ya ya. aku hanya bercanda, kalau begitu semoga latihannya berjalan lancar.”
“Ok. Bye.”

Casey langsung memutuskan sambungan telefonnya, dan entah kenapa perasaannya berubah menjadi tidak enak. Tanpa memikirkan itu, ia segera beranjak ke ruang keluarga, berpamitan dengan Ayah dan Ibunya yang sedang menonton tv.

“ Yah, bu. aku berangkat latihan Tari dulu.”

Pamit Casey pada Kedua orangtuanya. Ayahnya hanya menganggukan kepalanya tanda setuju.

“ Tumben sekali. Biasanya kau pergi ke taman kota setiap malam minggu bersama Carrisa.” Tanya Ibunya

“ Dua hari lagi lombanya, bu. Lagipula aku sudah bilang pada Carrisa kok.”

“ Okay. kalau begitu jangan pulang terlalu larut.”

“ Pastinya.”

Ketika Casey hendak beranjak dari ruang keluarga tiba tiba Ayahnya menyela.

“ Hm. Cass, tidak tertarikkah kau mengunjungi kakakmu ? kau belum pernah mengunjunginya semenjak itu.”

“ No. Salah siapa dia tidak menepati janjinya.”

“ Lalu sampai kapan kau akan menyalahkan kakakmu yang tidak bersalah itu ?”

“ Entahlah. Mungkin suatu hari nanti aku akan memaafkannya. Tapi tidak sekarang.”

—–

Casey mengusap peluh yang terus mengalir dari pelipisnya sembari meminta ijin beristirahat. Entah berapa jam dia berlatih tari dengan kelompoknya tanpa jeda mengingat tengat waktu menuju lomba sudah dekat. Dia melihat jam yang tertera di Hpnya, 9 malam. Biasanya jam segini dia sedang mengahabiskan waktu dengan Sahabat baiknya di Taman Kota, hal itu membuat perasaannya kembali tidak enak. Dan dia sedikit terlonjak merasakan getaran di Hpnya. Telefon dari seseorang.

“ Ya, Casey disini.”

“Nak Casey, Bisakah kau ke rumah sakit sekarang ?”

Ucap suara disebrang dengan sedikit terisak yang sukses membuat Casey tersentak.

“Ada apa ? Siapa yang sakit ?”

“ Ini nenek Carrisa. Nanti nenek jelaskan setibanya kau disini.”

“Carissa ? Rumah sakit mana ? biar saya kesana sekarang !”

Setelah mendapat alamat Rumah sakit yang ditunjukan Nenek Carrisa, dengan langkah tergesa Casey meminta ijin pada Pelatih Tarinya dan langsung meninggalkan Studio tempatnya berlatih. Lalu menyetop taksi yang lewat dihadapannya.

“ Tidak ada bintang malam ini. Gelap. Seperti waktu itu.” Gumam Casey.

Selama diperjalanan Otak Casey tidak henti hentinya bertanya. Kenapa dengan Carrisa ? apa yang menyebabkannya masuk rumah sakit ? dan pikiran pikiran lainnya yang terus bersahutan diotaknya. Tidak sampai 10 menit berselang Casey sudah sampai di rumah sakit yang dituju dan langsung bertemu dengan Nenek Carrisa yang telah menunggunya di Loby dengan wajah sembab.

“ Ada apa Nek ? apa yang terjadi pada Carrisa ?”

Ucap Casey dengan sedikit tergesa dan masih dilanda kebingungan. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Carrisa. Biar bagaimanapun Carrisa adalah satu satunya sahabat yang dimiliki Casey.

“ Dia tertabrak mobil yang sedang melintas ketika dia akan pulang kerumah. Lukanya cukup parah, Dan sekarang..” Nenek Carrisa menghela nafas sebelum melanjutkan. “ Dia sudah tenang bersama orang tuanya.”

Casey terpaku begitu mendengar penuturan dari Nenek Carrisa yang sekarang sudah menitikan air matanya lagi. Sudah tenang dengan orang tuanya ? bukankahh orang tuanya sudah tiada ? Apa mungkin dia ..

“ Maksud Nenek ?”

“ Dia sudah tiada, Nak. Nyawanya tidak bisa diselamatkan. Carrisa sudah menjadi bintang dilangit, seperti yang diinginkannya.”

Jelas nenek Carrisa sekali lagi. Casey menggeleng, ‘Tidak. Tidak mungkin dia pergi secepat ini. Ingatanku tentang masa laluku bahkan belum pudar. Dan mereka berdua meninggalkanku dengan cara seperti ini’ rutuk Casey.

“ Aku tahu kau satu satunya sahabat yang dia punya, dia sering membicarakanmu. Kau tidak seperti teman Carrisa yang lain yang selalu menghinanya karena Orangtuanya sudah meninggal.”

“ Aku ingin melihatnya sekarang !”

Sela Casey dengan intonasi yang sedikit tinggi. Ia tahu itu tidak sopan, tapi dia sudah terlanjur tidak percaya dengan semuanya. Tidak percaya kalau sahabat yang baru 5 tahun dekat dengannya harus pergi secepat ini.

“ Baiklah. Ikut aku.”

Nenek Carrisa menunjukan Ruangan dimana Carrisa menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dia memang belum dipindahkan karena Neneknya tahu bahwa Casey pasti ingin menemuinya terlebih dahulu. Ketika Casey mendekati Carrisa barulah ia percaya bahwa sahabatnya ini memang sudah pergi.

“ Kau tidak menghargai janji yang kuucapkan Carrisa. Cepat sekali, bahkan aku belum memberi tahumu mengapa aku membenci bintang Carr.” Ucap Casey sendu. “ Kalau saja tadi aku menemanimu mungkin semuanya tidak terjadi.”

Ternyata inilah yang menyebabkan perasaan Casey tidak enak semenjak memutuskan sambungan telefon dari Carrisa. Telefon yang menjadi percakapan terakhirnya bersama sahabatnya itu.

Sekarang tidak ada lagi Carrisa. Tidak akan ada lagi seseorang yang selalu menemani Casey, Tidak ada lagi Carrisa yang bisa Casey ajak bermain. Tidak ada lagi Carrisa yang cerewet. Tidak ada lagi Carrisa yang selalu mengajaknya ke Taman kota. Dan tidak ada lagi Carrisa yang bisa membuat Casey merasakan kehadiran Kakaknya dari sisi Carrisa.
Sekarang kedua orang itu sudah pergi. Disaksikan langit malam yang tanpa bintang.

——-

Seminggu setelah pemakaman Carrisa, yang sampai sekarang belum bisa Casey lupakan. tiba tiba saja, sore ini Nenek Carrisa menelefon Casey untuk datang ke rumahnya. Entah untuk alasan apa.

“ Masuklah .. ” Ucap nenek Carrisa begitu melihat Casey sampai dirumahnya.

“ Sebenarnya ada apa nek ? tumben sekali nenek menyuruhku ke sini ?”

“ Tidak. Nenek hanya tidak sengaja menemukan ini.” Ucapnya sambil menyodorkan sebuah surat. “ Sepertinya untukmu.”

Tanpa membacanya, Casey langsung bertanya pada nenek Carrisa. Karena bagaimana bisa Neneknya itu tetap terlihat senang. Padahal, dia sudah kehilangan semuanya. Seorang anak yang merupakan Ibu dari Carrisa dan Carrisa sendiri.

“ Nek. Aku tahu semua orang harus merelakan orang yang disayanginya pergi. Tapi kelihatannya nenek sangat cepat melupakannya ?”

“ Yah. Sebenarnya nenek bahagia Carrisa sudah tidak ada sekarang.”

Ucapan Nenek Carrisa itu sontak membuat Casey terperangah.

“ Maksud nenek ? bukankah nenek sangat menyanyangi Carrisa ?”

“ Memang. Dan karena itulah nenek bahagia. Karena orang yang nenek sayangi tidak harus merasakan sakit seperti yang dialami Ayah dan Ibunya.”

“ Aku tidak tahu Carrisa sakit. Bahkan dia saja tidak pernah memberitahuku mengapa orangtuanya meniggal.”

“ Gejalanya memang belum terlihat. Dia masih muda. Carrisa mengidap HIV akibat kesalahan orangtuanya. Dia tidak harus sampai direhabilitasi sekarang.”

Hal itu sukses membuat Casey terkejut. HIV. Jadi itu yang membuat Nenek Carrisa senang Carrisa sudah tiada. Senang karena tidak harus melihat orang yang dia sayangi menderita berkepanjangan karena penyakit itu. Tapi, bagaimana juga Sahabatnya itu tetap Ceria ?

“ Dan aku sebagai sahabatnya sendiri tidak tahu.”

“ Itu karena tidak semua rahasia harus dibeberkan kan. Setiap orang pasti mempunyai rahasia sendiri yang tidak boleh diketahui orang lain. Untuk keamanan jiwanya mungkin. Dan kau juga harus tahu Casey, Tuhan menunjukan kebaikannya lewat apapun. Meskipun orang lain merasa itu bukanlah kebaikan.”

Ya. tidak semua Rahasia harus dibeberkan. Dan tuhan itu selalu baik.

‘ Aku kira hanya aku yang mempunyai rahasia pribadi. ‘ fikir Casey.

——–

Hai Casey,
Bagaimana kabarmu sekarang ?Aku harap sahabatku yang begitu benci bintang ini sudah berubah. haha ? aku tidak tahu kapan surat ini akan sampai ditanganmu, tapi aku percaya jika surat ini sudah sampai ditanganmu itu artinya aku sudah pergi, bergabung dengan orangtuaku dan tentunya menjadi bintang yang paling bersinar dilangit. Aku tidak perduli dengan masalah bola gas itu. ?
Pokoknya jangan salahkan siapapun kalau aku pergi. Karena itulah yang sudah ditakdirkan oleh tuhan Cass. Dan kalau kau ingin berbicara denganku, Carilah bintang yang paling bersinar di langit. Disitulah aku menemanimu dengan cahayaku.
Your Bestfriend,
Carrisa

Casey tidak tahu harus bagaimana setelah membaca surat dari Carrisa itu. Pikirannya tidak menentu sekarang, sulit merelakannya meskipun ia tahu itulah yang terbaik dan tanpa disadari matanya mulai berkaca kaca.

Dan saat itu pula Casey sudah sampai di tempat yang ia tuju. Sebuah tempat yang dia sendiri sudah lupa kapan terakhir kalinya kesini. Dengan berhiaskan langit malam yang entah kenapa sekarang dipenuhi bintang bintang dan sebuah bulan yang terlihat lebih terang dari biasanya.

SARAH DIANITA

“ Hai kak Sarah.”

Gumam Casey. Setelah pulang dari rumah Nenek Carrisa entah kenapa dirinya ingin sekali mengunjungi makam kakaknya, padahal sedari dulu dia menolak mentah mentah jika ada orangtuanya mengajaknya kesini.

Bukan karena ia membenci kakakknya. Tapi karena kedekatannya dengan kakaknya lah yang membuatnya tidak ingin mengunjungi makam kakaknya. Ia tidak mau menerima kenyataan jika kakaknya sudah tiada.

“ Sudah lama kakak tidak mengajakku meneliti bintang lagi. Sudah hampir 6 tahun.”

Sarah memang selalu mengajak Casey meneliti bintang di tempatnya bekerja dulu. Sama seperti Carrisa yang selalu mengajak Casey pergi ke Taman kota untuk menatap bintang. Karena alasan itulah dia membenci bintang, meskipun begitu dia tidak menolak ajakan Carrisa setiap minggu karena hati kecilnya ingin selalu mengingat kakaknya.

“ Kau tahu kak ? Impianmu sama dengan sahabatku yang baru saja pergi. Ingin menjadi bintang yang bersinar. Haha.”

Casey terus bercerita sendiri sambil membayangkan kakaknya ada disana, berbicara seakan kakaknya masih hidup,dan melupakan segala keogisannya yang selama ini membuatnya tidak mau bertemu kakaknya.

“ aku pulang dulu kak. Aku berjanji sekarang akan selalu mengunjungimu karena aku tahu kakak disini karena tuhan ingin yang terbaik untuk kakak.”

Casey pun bangkit dari makam kakaknya dan pulang ke rumah. Tanpa disadarinya, dilangit sana ada dua bintang yang bersinar sedari tadi. Terus dan terus bersinar sepanjang malamnya dikala berbagai cuaca, selalu menemani Casey dimalam hari, menerangi dunianya. Karena mereka adalah Bintang yang bersinar.

——

Cuz’ in the sky, you’re so high.
There are beautiful stars which shine the night.
She’ll be dancing in the clouds and she’ll be singing in the rain.
Among those beautiful stars.
( Greyson Chance – Stars )


Gue Sayang Loe Lebih Dari Sahabat


“CHICI! CHICI! BERANGKAT YUK~!” teriak Rio ketika di depan rumah Chici. Chici yang sudah siap-siap dari tadi langsung keluar dari dalam rumahnya. Ia menghampiri Rio lalu menoyor Rio.

“Lama amat sih lu, Yo…” ujar Chicii kesal. Rio hanya cengar-cengir. Chicii langsung membonceng Rio. Chicii dan Rio sudah sejak kecil bersahabat, mereka berdua selalu bersama. Menurut orang-orang, mereka seperti anak kembar.

“Chi, lu marah ama gue?” tanya Rio. Chicii hanya menghela nafas kecil.

“Hemm… Udah lu jalan aja… Hari ini lu tanding basket, kan?” tanya Chici lirih. Rio hanya mengangguk.

>SKIP

“Rio… ini bunga buat kamu…”

“Ini coklat buat kamu…”

“Ini kaos dari itali loh, Yo… buat kamu…”

“Ini…”

“Ini…”

“Ini…”

“Ini…”

“Ini…”

“Ini aja…”

“Ini…”

Anak-anak perempuan saling berebutan memberi Rio hadiah, Rio langsung gelagapan dikasih hadiah segitu banyaknya. Ini sudah menjadi sarapan bagi anak-anak lain. Chicii pun sudah biasa melihat seperti ini, Ia menuju kelas duluan, Rio langsung berlari mengikuti Chicii. Ia mengandeng tangan Chicii dan chici langsung menepisnya.

“Udah sana… Ladenin fans-fans lu!” ujar Chicii lembut. Sebenarnya Chici jengkel tetapi ia mencoba sabar.

“Ya elah, Chi… Gue pengin ke kelas ama lu…” ujar rio memelas. Chicii mengacak-acak rambut Rio.

“Iya deh…” Rio langsung memeluk Chici, Chici hanya melongo. Rio akhirnya sadar.

“Eh, eh, sorry Chi… reflek… Hehehe…” ujar Rio. Chici hanya tersenyum kecil. Rio langsung mengandeng tangan chici, ia dan Chici pun berjalan dengan bergandengan bersama menuju kelas. Fans-fans Rio melirik mereka dengan sinis.

Di Kelas banyak yang meledek Chici dengan Rio.

“Suit-suit! Pasangan baru!” ledek Alvin ketos.

“Hahaha… Bukan kale, vin,.. Tapi itu pasangan SUAMI ISTRI BARU!” ledek Ozy. Semua langsung melototi Ozy dengan tatapan membunuh.

“HAgzhagzhagz…bercanda aja lu, Zy! Kita kan sahabat ya enggak, Chi!” balas Rio. Chici hanya mengangguk kecil.

DEGH! “Rio nganggep gue cuma sahabat.” Chici langsung melepas gandengan Rio, ia menuju bangkunya sendiri. Rio bingung dengan tingkah Chici, tapi ia tak ambil pusing. Rio, Alvin, Ozy, Ray, Cakka dan Gabriel langung keluar kelas, mereka menganti seragam sekolah dengan pakaian olahraga. mereka langsung menuju lapangan basket. Mereka akan bertanding basket dengan anak-anak SMA HARAPAN.

“Chi, lu enggak mau liat Rio tanding basket?” tanya Veny lembut.

“Enggak.” jawab Chici cuek.

“Emangnya lu ada masalah apa sih ama Rio?” tanya Melva.

“Enggak ada. Sana lah kalian nonton sendiri. Gue pengin di kelas aja! Pusing gue!” balas Chici sembari mengacak-acak rambutnya. Veny, Melva dan yana pun akhirnya menonton pertandingan bersama. Anak-anak lain sudah berkumpul di lapangan basket.

>SKIP

“Eh, Ven, Chici mana?” tanya Rio pada Veny sebelum pertandingan dimulai. Veny menggeleng lemah. Rio hanya mendengus.

“Yo, ayo cepetan 15 menit lagi anak-anak SMA HARAPAN ke sini!” ujar Ozy. Rio hanya mengangguk, tapi ia malah menuju ruang kelasnya. Ozy, Alvin, Gabriel, Ray, Cakka, Sivia, Melva, Veny dan Yana pun bingung.

“BRAAKKKK!!!!” Rio mengebrak ruang kelasnya. Ia melihat Chici yang sedang menangis. Chici menengok ke arah Rio dengan sinis, Rio menghampiri Chici.

“Chi, kamu kenapa nangis?” tanya Rio. Ia membelai rambut Chici, Chici segera menepisnya.

“Enggak apa-apa!” ujar chici ketus.

“Kamu marah ama aku?” tanya rio lembut.

“Enggak!” ujar Chici tambah naik keketusannya. Rio langsung memeluk Chici.

“Chi, plis, jangan lu giniin gue kayak gini… Kalau lu marah ama gue bilang aja… Gue enggak mau lu diemin gue kayak gini! Sebentar aja lu diemin gue, rasanya lu ama gue udah kayak musuhan!” isak Rio. Chici kaget melihat Rio menangis. Ini tidak seperti Rio yang Chici kenal. Rio yang pemberani, manja, ngotot, sok cuek dan lain-lain. Tapi Chici masih tetap diam.

“LU KENAPA GINIIN GUE, CHI??!!” ujar Rio makin histeris. Chici pun merasa takut. Ia memundurkan kursinya tapi dicegah Rio.

“KENAPA, CHI??!” ujar Rio. Chici pun merasa tidak tahan.

“KARENA GUE SAYANG AMA LU LEBIH DARI SAHABAT, RIO!” seru Chici tegas. Ia pun melepas pelukannya dengan Rio, ia berlari menuju ruang musik. Tempat dimana Chici dapat menuangkan semua isi hatinya. Rio tertegun mendengar jawaban Chici. “Chi, gue juga sayang ma lu melebihi sahabat…” batin Rio. Tiba-tiba ada yang menepuk pundak Rio. Ternyata itu, Gabriel.

“Yo, mendingan lu tanding basket sekarang…” ujar Iyel.

“Tapi…”

“Gue tahu masalah lu. Gue dah liat semuanya.nanti gue bantu…” ujar Iyel. Rio pun hanya mengagguk pasrah, ia pun mengikuti Gabriel dari belakang. Semua penonton pun bertepuk tangan. Rio hanya tersenyum kecut.

“PRIIIITTTTT!!!!” wasit pun meniup peluit tanda permainan sudah di mulai. Semuanya larut dalam permainan.

Sementara itu, Chici di ruang musik. Ia memainkan gitarnya, bersenandung sesuai dengan apa yang ia rasakan saat ini.

JRENGGG… Chici memulai dengan petikan gitarnya terlebih dahulu.

“Bagaimana caranya untuk agar kau mengerti bahwa aku rindu…

bagaimana caranya untuk agar kau mengerti bahwa aku cinta…

Masihkan mungkin hatimu berkenan menerima hatiku untukmu…

Cintaku sedalam samudera…

setinggi langit diangkasa… kepadamu…” tiba-tiba seseorang ikut bernyanyi. Chici pun menengok. Ternyata, Bu Zahra, guru seni musik.

Cintaku sebesar dunia…

seluas jagat raya ini… kepadamu…

Bagaimana caranya untuk agar kau mengerti bahwa aku mencintaimu selamanya…

Bagaimana caranya untuk agar kau mengerti bahwa aku merindukanmu selamanya…

Chici dan Bu Zahra pun bersama menyanyikan reffnya :

Cintaku sedalam samudera…

setinggi langit diangkasa… kepadamu…

Cintaku sebesar dunia…

seluas jagat raya ini… kepadamu…

Oh… Kepadamu…

Chici dan Bu Zahra pun berhenti bernyanyi. Chici lalu menaruh gitar pada tempatnya lagi, sedangkan bu Zahra tersenyum kecil.

“Suara bu Zahra emang top deh…” puji Chici.

“Tidak, Chici, suara kamu yang paling top…” ujar bu Zahra.

“Ya udah, kita sama-sama top deh.. hehehe…” ujar Chici. Chici dan bu Zahra pun tertawa.

“Ibu ke ruangan dulu ya… bye, Chici!” ucap bu Zahra. ia lalu keluar dari ruangan musik. Chici menghela nafas.

“CHICI!!!” seru Rio, Chici pun menoleh. “kenapa lu kesini?”

“Chi, plis, jangan kayak gini… gue mau lu nonton pertandingan ini…”

“Enggak!” balas Chici ketus.

“Lu kenapa sih!” ujar Rio

“Gue udah bilang alasannya kan, Yo!”

“Gue juga sayang ama lu!” balas Rio.

“Hah? Sayang? Lu bilang sayang?” ujar chici sinis.

“Plis, Chi… Gue kali ini pengin banget lu nonton pertandingan ini…” mohon Rio. Chici tetap menggeleng cepat. Rio langsung memeluk Chici, Chici langsung mendorong Rio dengan keras tapi pelukan Rio lebih erat.

“JANGAN DEKETIN GUE!” seru Chici. Ia menahan air matanya.

“LU KENAPA SIH, CHI!”

“GUE BENCI AMA LU!”

“KENAPA LU BENCI AMA GUE? APA SALAH GUE, CHI!”

“BANYAK!”

“LU EGOIS, CHI!”

“KENAPA LU BILANG EGOIS KE GUE, YO! SEDANGKAN LU LEBIH EGOIS DARI GUE!”

“PLAK. . .” Rio menampar Chici, Chici tertegun dengan sikap Rio. Rio tidak menyangka dirinya melakukan seperti itu.

“Maaf, Chi…” ujar Rio lirih.

“MAAF-MAAF! LU CUMA BISA BILANG MAAF! GUE ENGGAK BUTUH MAAF DARI LU, RIO. TAPI BENER, TERNYATA LU LEBIH EGOIS DARI GUE! GUE BENCI LU! SEKARANG LU SAMA GUE UDAH ENGGAK SAHABATAN LAGI! TITIK!” teriak Chici. Ia pun berlari menuju kamar mandi. Rio mengacak rambutnya.

“ARGGHHHHHHH… kenapa jadi gini sih! CHICIIIII MAAFIN, GUE!!!” seru Rio frustasi.

>SKIP

“Hiks-hiks… Ri… Rio…” isak Chici. Ia mencuci mukanya. Ia mengambil ponselnya disaku. Ia menelpon seseorang.

“Hiks… Biet… jemput gue sekarang!” seru Chici.

“Lu kenapa, Chi? Iya-iya,,, gue jemput sekarang. Lu izin ama guru lu dulu ya!”

“Iya…” balas Chicii. Ia langsung menutup teleponnya. Ia menuju ruang Guru untuk meminta izin. tetapi ketika di lorong ia bertemu Rio yang akan menuju lapangan basket. Chici langsung membuang muka. Rio hanya dapat menghela nafasnya. Tiba-tiba Rio berteriak, “RIO SAYANG SAMA CHICI MELEBIHI DARI SAHABAT, Chi!”.Chici langsung berlari menuju ruang guru.

“hmm… baiklah, chici… jangan lupa. Istirahat di rumah ya!” ujar bu Zahra. Chici mengagguk kecil.

>SKIP

Chici pun menuju area parkir. Sebenarnya area parkir dengan lapangan basket bersebelahan. Chici pun melihat Rio bertanding sekilas. Rio hanya melirik Chici. Chici pun langsung berlari menuju kakaknya, Obiet. Obiet menjemput Chici dengan mengunakan mobilnya, Chici pun masuk ke dalam mobil. Obiet langsung mnejalankan mobilnya. Di sepanjang perjalanan, mereka hanya hening.

“Kak, gue masuk dulu ya! Thanks dan maaf, kak!” ujar chici. Ia pun langsung menuju kamarnya. Ia membuka pintu kamarnya lalu menutup kembali. Chici pun merebahkan tubuhnya dikasurnya yang empuk. “ARRGHHH!!! GUE BENCI MARIO STEVANO ADITYA HALINGGGGG!!! MENDINGAN GUE TIDUR!” teriak Chicii di kamarnya. Obiet yang mendengar dari bawah, hanya geleng-geleng mendengar teriakan Chici.

>SKIP

Rio langsung mengebrak pintu rumah Chici. Obiet yang sedang bermain PS pun refleks langsung membanting stik PS-nya.

“Woy, Yo, main ngebrak aja tuh pintu! Rusak woy! Gara-gara lu juga, nie stik PS gue jadi kebanting, kan!” ujar Obiet ketus. Rio hanya cengar-cengir. Obiet hanya geleng-geleng.

“Chici mana, Biet?” tanya Rio. Obiet pun langsung menghampiri Rio lalu menoyor Rio.

“Udah bikin Chici nangis dan teriak enggak jelas, ngebrak pintu, stik PS-nya kebanting ini manggil gue, Obiet lagi! Panggil gue, KAKAK!!!” ujar Obiet jengkel. Rio hanya manggut-manggut.

“Emangnya Chici kenapa sih?” tanya Rio lirih.

“Nangis!” balas Obiet cuek.

“Kok nangis?”

“Kan gara-gara lu!”

“Ah masa sih?” Obiet kembali menoyor Rio.

“Biet eh, Kak, lama-lama nie otak gue miiring! lu toyor-toyor mulu sih!”

“HEhehe.. pis… sana deh lu ke kamar Chici…” ujar Obiet lembut. Rio pun langsung ngeloyor ke kamar Chici.

“Ckckck…”

KREEKKK…

Rio membuka pintu kamar Chici dengan pelan. Ia melihat Chici sedang tidur dengan pulas.

“Chi, maafin gue…” ujar Rio lirih. Ia pun melihatlihat kamar Chici. Ia menuju meja belajar Chici dan membuka laci. Mata Rio bebinar-binar ketika melihat sebuah liontin berbentuk love dan ia melepas kalung yang dipakenya yang berbentuk kunci. Lalu menyambungkan kembali, kunci itu dengan love.

“Chici masih nyimpen…” ujar Rio lirih.

“HOAMMMM…” Chici pun bangun dari tidurnya. Rio menoleh pada Chici. Ia mengucek-ucek matanya lalu menoleh ke arah meja belajar. Chici kaget melihat Rio sudah ada di kamarnya. Rio tersenyum manis ke arah chici. Chici pun menghampiri Rio. Ia langsung mengambil liontin miliknya itu dari tangan Rio.

“BALIKIN LIONTIN GUE!” seru Chici kesal. Rio masih tetap tersenyum.

“Ternyata lu masih nyimpen, Chi… kenapa lu enggak bilang, Chi?”

“Buat apa gue bilang? LU juga enggak bakal peduli, Rio!” Rio langsung memeluk Chici.
“Gue sayang lu lebih dari sahabat…” bisik Rio pada Chici. Chici tertegun mendengarnya. Lalu tersenyum.

“Apa buktinya?” tantang Chici. Rio pun berpikir sebentar.

CUPP… Rio mencium pipi kanan Chici. Mata Chici melotot. Pipinya dibuat merah oleh Rio. Rio hanya cengar-cengir.

“Lu mau enggak jadi pacar gue, chi?” ujar Rio. Chici menggeleng cepat. Rio melihat chici dengan tatapan kecewa.

“Gue cuma mau jadi pendamping lu selalu…” balas Chici.

Rio dan Chici tersenyum.

Cerpen Persahabatan : Pengertian ,Tips Menulis dan Contohnya

Surat Tinta Cokelat


“Fred, cepetan. Udah jam setengah tujuh nih. Elo nggak tahu…” kata-kata Feri terhenti ketika kakaknya, Ferdi; remaja berkulit cokelat muncul dari pintu rumah.
“Iya-iya. Eh, kuncinya mana?” Ferdi dengan muka tanpa dosa.
“Itukan di meja elo. Ambil sana!” sang adik sedikit geram dengan kakaknya yang ngaret.
“Oke. Tunggu!” Ferdi segera berlari untuk mengambil kunci motornya.
“Mau coba nyetir?” Ferdi menawarkan kuncinya pada adiknya.
“Gila lo. Guekan nggak punya SIM. Lo mau gue ditilang? Udah ah, jangan cari masalah baru. Cepet berangkat!” Feri memberikan helm pada Ferdi.
“Mari.”
Setibanya di SMA Bakti Dharma, Dua kakak beradik ini adu lari menuju kelas yang sama, XI IPS 1. Ferdi dan Feri selalu memiliki kelas yang sama sejak mereka mengenakan seragam putih merah.
“Ah, lo kalah lagi sama gue,” Feri bangga telah masuk kedalam kelas lebih cepat dari Ferdi.
“Tenang saja. Sebagai kakak aku membiarkan adikku bahagia,” Ferdi dengan nada orang bijak.
“Sudahlah, bilang aja nggak mau dibilang kalah. Ribet amat sih,” Feri dengan nada meremehkan.
“Tapi, sekarang siapa yang menang?” Ferdi serius.
“Menang? Menang apa?” Feri tak mengerti.
“Kamu sudah menyelesaikan PR Sosiologi yang harus menulis paper 5 halaman folio?” Ferdi berimprovisasi.
“Argh… kenapa lo nggak ngingetin dirumah?”
“Habis kamu tidurnya kecepetan. Aku mau bangunin nggak enak. Ya udah, selamat bekerja,” Ferdi dengan nada kemenangan.
“Lo udah kan, Fred?”
Ferdi mengangguk.
“Bantuin gue dong..” Feri memelas.
= = =
Sinar matahari yang menyilaukan mata menunjukan hari yang cerah. Ferdi berjalan melalui selasar SMA Bakti Dharma yang merupakan sekolah dengan arsitektur Eropa. Namun langkahnya terhenti didepan taman sekolah ketika matanya menangkap sesosok yang tak asing baginya. Rambut hitam panjang terurai dengan kulit putih khas Sunda, ialah Tyas, teman sekelasnya di XI IPS 1. Ferdi pun mendekati Tyas dan duduk disampingnya.
“Kamu kenapa, Tyas?” tanya Ferdi.
Tyas melirik sesaat kearahnya dan kembali menatap ikan dalam kolam.
“Hey, hey. Jangan bengong atuh. Mau kesambet…” Ferdi menghentikan celotehannya ketika tidak melihat reaksi apapun dari Tyas.
Ferdi pun mengeluarkan sesuatu dari tas punggungnya, “mau cokelat?”
Tyas pun memalingkan wajahnya pada Ferdi dan menerima cokelat batangan tersebut, “makasih”.
Tyas pun segera memakan cokelat batangan tersebut. Mereka pun saling berbincang dan bercanda satu sama lain. Namun hal tersebut diganggu oleh jeritan ponsel dari tas Ferdi.
“Ah, sorry. Aku harus pulang. Feri udah nunggu didepan.” Ferdi pun meninggalkan Tyas yang kini telah merubah suasana hatinya menjadi lebih cerah.
Sesampainya di tempat parkir, Feri, remaja berkulit putih melambaikan tangannya untuk Ferdi.
“Lo kemana aja sih. Dari tadi ditelepon nggak diangkat-angkat.” Feri, meluapkan kekesalannya.
“Iya, Sorry deh. Tadi aku ada sedikit urusan.”
“Fred, lo aja deh yang nyetir,” Feri memanggil kakaknya dengan nama favoritnya, ‘Fred’. Selain disenangi oleh Ferdi, Ini bisa membedakan orang yang ingin memanggil salah satu diantara ‘Cokelat Susu Bersaudara’, julukan untuk kedua saudara berjarak 10 menit yang berbeda warna kulit namun memiliki garis wajah yang sama. ‘Fred’ untuk Ferdi dan ‘Fer’ untuk Feri. Maka, takkan ada kasus panggilan ‘Fer’ yang ambigu bagi keduanya.
“Ya udah, emang kamu mau ditilang lagi? Ayo kita pulang,” Ferdi lalu memacu motornya dengan Feri yang membonceng dibelakang.
Mereka menembus jalanan kota yang kian hari kian pengap oleh polusi. Mungkin motor yang dikendarai Ferdi pun berpartisipasi dalam peningkatan polusi itu. Namun hingga kini belum ada solusi pasti mengenai polusi yang tidak menyenangkan itu.
= = =
Keesokan harinya, Ferdi menemukan kertas berwarna cokelat muda diatas mejanya.
HAI COKELAT. MAKIN MANIS AJA NIH.
Itulah yang tertulis pada kertas tersebut. Tulisan pada kertas itu nampaknya menggunakan spidol bertinta cokelat. Ferdi lalu memasukkan kertas tersebut kedalam tas sebelum Feri, adiknya sekaligus teman sebangkunya masuk kedalam kelas. Ia tak ingin memikirkan terlalu jauh mengenai maksud si penulis surat.
Saat jam istirahat, Ferdi maju kedepan kelas untuk meminta teman-teman sekelasnya duduk ditempat.
“Hey, beberapa minggu kedepan disekolah kita akan diadakan festival musik antar sekolah. Setiap kelas XI IPS diundang oleh panitia untuk membuka stand bazar untuk jualan pada saat acara. Ada yang punya usul untuk bazar kelas kita?” Ferdi mengangkat tangan kanannya sebagai tanda yang lain boleh bicara.
“Fred, gimana kalau kita buka stand poster penyanyi-penyanyi terkenal?” Tika memberi usul.
“Jangan, poster bisa dibeli dimana pun, nggak usah di acara festival musik. Di acara kayak gitu pasti banya orang laper. Gimana kalau kita jualan makanan pengganjal perut. Laku keras tuh kayaknya,” Hedi memberikan saran.
“Eh, bener juga tuh usul si Hedi. Tapi makanan yang dijual apa aja?” Gilang membela Hedi.
“Enak aja. Emang semua udah sepakat jual makanan? Poster penyanyi gimana nasibnya?,” Tika protes.
Diskusi yang Ferdi perkirakan hanya membutuhkan waktu lima menit ternyata belum berakhir hingga istirahat hampir berakhir.
“Udah, begini saja. Siapa yang setuju jual makanan?” Ferdi menghentikan debat kusir yang terjadi dalam kelas.
27 tangan kanan terangkat. Yang tidak mengangkat tangan hanya Tika dan Ferdi selaku pemimpin rapat.
‘Hah, bukannya kelas ini berjumlah 30 siswa?’ Ferdi heran karena hanya ada 29 orang dalam kelas. “Tika, gimana kalau posternya…”
“Nggak, poster harus tetep ada,” Tika keukeuh.
“Hm…” Ferdi berpikir sejenak. “Ok, poster tetap ada. Yang lain urus makanan, Tika urus poster.Setuju?”
“SETUJU,” penghuni seisi kelas sepakat.
Tak lama kemudian, Tyas masuk kedalam kelas tanpa mengucapkan salam dan duduk dikursinya.
“Eh, Tyas. Dari mana lo? Kok nggak ikutan rapat kelas?” Yadi bertanya.
“Suka-suka aku dong,” Tyas cuek dan membuka buku novel yang telah berhari-hari ia bawa kedalam kelas.
“Kalau begitu rapat ditutup. Yang mau jajan cepet keluar sebelum bel masuk.,” komando Ferdi membuat siswa XI IPS 1 berhamburan keluar, kecuali Tyas.
Hari berikutnya, kertas yang mirip seperti kemarin dengan isi berbeda tergeletak diatas mejanya.
COKELAT, JANGAN SOMBONG DONG.
Ferdi kembali memasukkan kertas tersebut kedalam tas. Ferdi tidak ambil pusing mengenai pesan-pesan tersebut. Walau demikian ia mulai penasaran dengan tokoh penulis pesan tersebut. Ia mengamati raut wajah teman-teman sekelasnya yang kini telah ada di dalam kelas, “mungkin salah satu dari mereka yang menulis,” batinnya.
Feri berada disampingnya, tak mungkin adiknya menulis ini. Lagipula Feri selalu datang dan pulang bersama Ferdi. Maka tak mungkin Feri orangnya, Ferdi yakin.
Dede yang duduk dibelakangnya juga tak mungkin, ia baru datang saat Ferdi baru duduk. Tak mungkin Dede yang menulis, ia rasa.
Tyas memang telah ada didalam kelas sejak ‘Cokelat Susu Bersaudara’ ini datang. Tetapi Tyas nampaknya sedang hanyut dalam dunia novel yang kini tengah dibacanya. Tak mungin Tyas meninggalkan novelnya demi menulis kata-kata ini, batin Ferdi.
Cecep, nggak mungkin. Ia baru masuk saat Ferdi memalingkan perhatian dari Tyas.
Akhirnya Ferdi menyerah. Ia kembali hanyut pada buku Matematika. Mungkin saja ada kuis dadakan, pikirnya.
“Fred, cabut keluar yuk. Bosen didalem terus?” Feri mengajaknya.
“Bolos?” Ferdi tetap pada bukunya.
“Nggak lah. Gila bolos. Ke depan kelas sekalian cari udara seger. Lo ini pikirannya kok malah ke bolos sih?” terang Feri.
“Iya deh,” setidaknya bisa menyegarkan pikiranku dari masalah pesan dalam kertas, tambah Ferdi.
Kertas ketiga muncul pada pagi berikutnya. Ferdi membuka lipatan kertas tersebut.
KAKAKNYA COKELAT, ADIKNYA SUSU. DICAMPUR JADI ENAK YA!!
“Ah, kini surat tersebut juga menyinggung Feri. Kali ini sudah cukup merisaukan. Siapa pula orang yang mau menulis surat tiga hari berturut-turut tanpa tujuan yang jelas?” Ferdi membatin.
Ferdi memasukkan kertas tersebut dengan tergesa-gesa hingga menjatuhkan tas punggungnya dari meja.
“Fred, lo kenapa sih sampe ngejatuhin tas. Punya masalah?” Feri sedikit kaget.
“Nggak, cuma kesenggol kok. Bener deh, bener. Percaya sama aku,” Ferdi berusaha membuat adiknya yakin bahwa kakaknya baik-baik saja.
Feritampaknya tidak ambil pusing atas kejadian itu. Tetapi Ferdi benar-benar ambil pusing atas teror yang menyerang. Ia kembali mengamati teman-teman dalam kelasnya. Kini suasana kelas sudah sedikit gaduh dengan tingkat kedatangan siswa dalam kelas yang hampir seratus persen. Feri pun ikut-ikut membuat suasana semakin meriah.
“Ah, adikku. Walau kau 10 menit lebih muda kau lebih gila dariku,” Ferdi membatin.
Tak lama kemudian, bel tanda masuk berdering.
Kringgg…
Siswa-siswa yang tadinya mengacau kembali ke bangkunya menjadi anak yang duduk manis dikursinya masing-masing.
“Baik anak-anak. Pagi ini kita akan ulangan matematika!” pernyataan Bu Gina membuat kelas gaduh tak terima.
“Bu, tapi kita belum bel…” kalimat Tika, si cewek tomboy terputus ketika melihat tatapan Bu Gina yang tegas.
“Tidak ada alasan untuk menolak. Tutup buku kalian dan kita mulai… Sekarang.”
Siswa XI IPS 1 pun pasrah menerima takdir.
Setelah seluruh siswa telah menyelesaikan pekerjaannya, hasil pekerjaan tiap siswa ditukar oleh temannya untuk diperiksa.
“Ibu merasa kecewa dengan kalian. Ibu kan telah mewanti-wanti dari dulu kalau kalian itu harus belajar walau ibu tidak memberitakan ulangan pada kalian,” Bu Gina meluapkan kekecewaannya. “Tapi ibu juga punya lima siswa dengan nilai yang membanggakan.”
Suasana kelas kini hening menanti nama-nama siswa yang ‘membanggakan’ Bu Gina.
“Yang pertama nilai 100, didapat oleh…. Fer…” Cokelat Susu bersaudara telah yakin salah satu dari mereka yang mendapatkannya. “Feri Sunandar.”
“Alhamdulillah…” Feri mengucapkan syukur.
“Yang kedua nilai 95, Ferdi Sunandar.”
“Yah, Alhamdulillah masih diatas 90,” Ferdi sedikit bersyukur walau kecewa dikalahkan adiknya sendiri.
“Gimana kak..” Feri nakal.
“Sudahlah, cuma beda lima. Nanti kukalahkan kamu,” Ferdi dengan nada mengancam.
= = =
Sepulangnya dari sekolah, Feri masih membanggakan dirinya yang berhasil mengalahkan kakaknya dalam ulangan matematika. Tetapi Ferdi tidak terlalu mengubrisnya. Setelah meninggalkan Feri yang duduk malas didepan televisi, Ferdi masuk ke kamarnya dan bercermin. Ferdi meraba-raba mukanya. Aku tampan, bisik hati Ferdi. Rambut bergelombang, mata cokelat sipit, hidung sedikit mancung, dan dagu sedikit lancip. Tetapi Ferdi juga mengakui, walau memiliki garis wajah yang sama, Feri lebih putih dari dirinya. Ia teringat saat SD mereka mendapat julukan ‘Cokelat Susu Bersaudara’. Ah… Surat itu menyinggung dua bersaudara… Cokelat itu Ferdi, Susu itu Feri.
“Tapi aku tetep ganteng kok. Buktinya di SMP aku dikejar banyak cewek,” puji Ferdi pada dirinya sendiri.
“Putihkan kulitmu dengan ShineSkin,” iklan dari televisi ruang tengah itu memberi sugesti padaFerdi.
Ferdi segera mengambil kunci motornya dan meninggalkan kamarnya. Ia kini berencana untuk membeli ShineSkin di KomplitMART yang cukup jauh dari rumahnya. “Nggak bakal ketahuan Feri kalo aku belinya jauh dari rumah,” batinnya.
“Mau kemana, Fred?” tanya Feri yang tengah duduk malas diruang tengah.
“Ah, mau ke… depan. Udah ah, aku mau cabut dulu,” Ferdi pun meninggalkan saudaranya dengan tergesa-gesa.
“Kenapa dari tadi pagi dia selalu bertingkah aneh?” tanya Feri pada dirinya.
= = =
KomplitMART di siang hari ini tidak terlalu padat seperti akhir pekan. Ferdi dengan leluasa memasuki salah satu supermarket terkemuka di kotanya itu. Ia juga mengamati keadaan sekitar supermarket. Ia ingin memastikan aksinya kali ini aman dan bebas gangguan.
Setelah masuk lebih dalam di KomplitMART,Ferdi langsung mengambil keranjang, menyimpan dompet didalam keranjang, lalu menuju lorong ‘Perawatan Tubuh’ melewati deretan televisi-televisi berlayar lebar. Iklan yang ditampilkan oleh televisi-televisi ini kini menampilkan ShineSkin sebagai produk kecantikan andalan.Akibat iklan tersebut, matanya tersugesti untuk hanya mencari satu, ShineSkin with Bengkoang. Tetapi sebagai cowok, ia tentu malu bila isi keranjangnya hanya pemutih kulit yang diracik untuk wanita. Maka ia pun berinisiatif untuk memasukkan makanan ringan ke dalam keranjangnya.
Setelah dari lorong ‘Perawatan Tubuh’ dengan ShineSkin didalam keranjangnya, Ferdi segera menuju lorong ‘Makanan Ringan’. Setelah memasukkan beberapa makanan ringan, tanpa disengaja ia terpeleset dan menumpahkan semua isi keranjangnya. Namun entah mengapa ‘ShineSkin’-nya kini meluncur hingga ujung lorong dan berhenti dibawah kaki seorang remaja perempuan yang mengenakan seragam SMA Bakti Dharma, seperti yang Ferdi kenakan. Ia perhatikan sekilas orang tersebut, ternyata cewek itu Tika, cewek tomboy di kelasnya.
“Aduh, kalau dia tahu aku beli gituan bisa jadi olok-olokan baru buat aku,” batinnya. Demi menjaga harga diri, Ferdi langsung meninggalkan TKP dan mengambil keranjang baru dan barang-barang baru yang sama seperti keranjang sebelumnya.
Setelah menyelesaikan misi-misinya, Ferdi segera datang ke kasir dengan rasa bangga telah hampir menuju misi utama, mempermak kulitnya supaya terlihat lebih putih dari kondisi yang sekarang.
Selama penjaga kasir memasukkan barang-barangnya kedalam kantong, ia melihat-lihat lagi keadaan sekitar. “Jangan sampai Tika melihatku,” batinnya.
“Uangnya mana?” tanya penjaga kasir.
“Oh ya. Maaf Mbak, tung… ah…” Ferdi tidak menemukan dompetnya disaku celananya. “AH… DOMPET SAYA HILANG.”
“Dompet hilang? Kok bisa sih?” Ferdi panik. Ia teringat bahwa dompetnya ada didalam keranjang yang telah tumpah tadi.
Dengan tergesa-gesa, Ferdi kembali ke lorong ‘Perawatan Tubuh’. Namun ia tidak menemukan dompetnya. Ia juga mendatangi pusat informasi.
“Dompet? Kami tidak mendapat laporan orang yang menemukan dompet…” Ferdi pun meninggalkan tempat itu sebelum informan menyelesaikan kalimatnya.
Dengan hati yang nelangsa, Ferdi mengendarai motornya dengan sinar matahari yang rasanya membakar kulitnya yang… semakin hitam, pikirnya. Tak jauh dari KomplitMART, mesin motornya tiba-tiba mati.
“Astagfirullah, bensinnya habis,” pekiknya setelah melihat indikator motornya.
Hari ini serasa menyedihkan bagi Ferdi. Dompet hilang, bensin habis, penderitaan yang menimpanya serasa ingin menyiksa hidupnya. Meminta Feriuntuk datang menolongnya adalah tindakan yang telah Ferdi hapus sejak awal. Dengan hati yang menangis, Ferdi mendorong motornya ke SPBU dengan harapan petugas mau memberikan bensinnya dan berjanji akan kembali untuk membayar bensin, walau kemungkinannya sangat tipis. Ketika ia tiba di suatu gang, ia melihat Tika berjalan masuk kedalam gang. Ferdi pun mengikuti Tika dari kejauhan, “mungkin saja dompetku ada di Tika,” batinnya memberi harapan cerah.
Di suatu belokan, Ferdi mengitip dari balik dinding rumah warga. Ia melihat kini Tika sedang bertengkar dengan pemuda tanggung yang mangkal di Pos kamling. Kata-kata kotor terlontar dari mulut-mulut mereka. Tanpa disengaja, Ferdi menemukan dompetnya tergeletak tak jauh dari kakinya. Ia pun segera memungut dompetnya. Ingin rasanya ia mengucapkan sesuatu pada Tika seperti ‘terima kasih’. Namun hatinya tak sampai bila harus merusak ‘kesenangan’ Tika.
Setelah Tika menyelesaikan ‘kesenangannya’, Tika segera pulang ke rumahnya yang terletak didalam gang itu. Setibanya didalam kamar, ia merogok sakunya.
“Lho, dompet tadi mana?” Tika tidak menemukan dompet yang ia pungut di KomplitMART tadi.
“Eh, ada foto!” Ia pun mengamati foto itu baik-baik. Ia lalu membawa foto tersebut ke tempat yang lebih terang.
“Kayaknya aku nggak asing sama muka ini. Putih dan… ganteng,” Tika tersenyum.
= = =
Setelah mendapatkan dompetnya kembali, Ferdisegera mengisi motornya dengan bensin dan kembali ke KomplitMART tadi untuk membeli barang yang sama seperti yang sempat ia tinggalkan sebelumnya. Kali ini ia juga mengambil brosur ‘pemutihan kulit dengan ShineSkin’ dari ujung lorong ‘Perawatan Tubuh’.
Setibanya dirumah, Ferdi langsung disambut oleh adiknya.
“Hey, dari mana? Lama betul kedepannya,” Feri menyambut kedatangan Ferdi di ruang tengah sambil duduk malas didepan televisi.
“Oh, tadi habis dari… kekamar dulu ya,” Ferdi pun lansung berlari menuju kamarnya.
“Hm… bagusnya diapain nih bocah biar nggak aneh?” Feri sedikit curiga kakaknya menyembunyikan sesuatu dari dirinya.
Malam harinya, keluarga yang dibangun oleh suami-istri yang memiliki perbedaan latar belakang budaya ini makan malam bersama didalam rumahnya.
“Bagaimana dengan sekolah kalian?” Pak Hendry, bapak dari Ferdi dan Feri membuka pembicaraan sesudah makan malam.
Sekilas, garis wajah Pak Hendry mirip dengan kedua anaknya. Namun warna kulit Pak Hendry yang keturunan Indo turun pada Feri. Sedangkan Ferdi mungkin mendapatkan kulit cokelat manisnya dari gen ibunya yang merupakan asli pribumi.
“Pak, Ferdi dari tadi pagi kelakuannya aneh deh…” Feri sambil menunjuk Ferdi dengan telunjuknya.
“Lho…?” Ferdi sedikit heran dengan tingkah adiknya yang terpaut 10 menit lebih muda darinya.
“Tadi pagi, kamu….” Sebelum Feri menyelesaikan kalimatnya, Ferdi yang merasa dirinya semakin terancam membisikan sesuatu kemulut Feri hingga mulutnya terkunci.
“Kenapa?” Bu Santi, istri Pak Hendry tampak penasaran.
“Ferdi tadi pagi dapat 95 matematika. Padahal kalau satu nomor lagi benar bisa dapat 100.” Ferdi memberikan informasi yang menyenangkan itu.
“Iya, tapi aku 100. Kasihan deh kamu,” Feri pun menarik Ferdi dari kursinya.
“Hm, sekarang anak kita sudah besar ya Pak,” Bu Santi tersenyum melihat tingkah anaknya yang tampak ceria.
Setelah menutup pintu kamar, Ferdi pun menuturkan hal yang membuatnya aneh.
“Eh, tapi kamu jangan ledekin aku, ya?” Ferdi mencoba meyakinkan dirinya.
“Iya lah. Daripada papa mama yang tahu, mending aku saja yang tahu,” Feri tak sabar.
“Huh, coba kamu nggak ancam…”
“Udah ah, cepet. Mau nggak…”
“Oke, oke. Aku bakal cerita.” Ferdi pun membuka tasnya dan mengambil tiga kertas yang tidak mulus lagi. Kertas itu pun diberikan pada Feri.
“Udah tiga hari berturut-turut aku dapat kertas yang isinya seputar cokelat. Yang ketiga malah nyinggung kita. Aku jadi mikir, mungkin itu karena kulitku yang lebih gelap dari kulitmu…”
“Lho, jadi ini yang buat elo jadi aneh hari ini. Tapi kok aneh baru hari ini sih kamu anehnya?”
“Dua hari kebelakang aku nggak ambil pusing. Paling cuma orang iseng, pikirku. Tapiudah tiga hari lho. Gimana nggak pusing, coba?” Ferdi lalu menghempaskan badannya keatas kasur.
“Oh ya, tadi sore kamu kedepan ngapain?” Feri mencoba mengorek lebih dalam masalah yang dialami kakaknya.
“Udah ah, tidur yuk. Ngantuk nih.” Ferdi pun menutup mukanya dengan guling.
“Heh, makin aneh aja elo,” Feri pun meninggalkan kasurnya menuju ke kamar kecil untuk sikat gigi.
Setelah Feri telah benar-benar tertidur pulas diatas kasurnya, Ferdi bangkit dari baringannya. Ia lantas mengambil salah satu barang belanjanya dari tas punggungnya, ShineSkin. Lampu kamar mandi dinyalakan. Ia pun melepas pakaian yang melekat pada badannya. Tak lama setelah itu, ia mengikuti prosedur yang terdapat pada brosur ‘pemutihan kulit dengan ShineSkin’ yang didapat diujung lorong ‘Perawatan Tubuh’ KomplitMART. Setelah ia menyelesaikan semuanya, ia kembali ke kasurnya dan membayangkan dirinya memiliki kulit seputih adiknya.
= = =
Waktu pada arloji yang melingkar pada lengan Tika masih menunjukan pukul 6.15, tetapi kini ia telah berada didepan kelasnya demi menjalankan misinya, menemukan sang pemilik foto.
Hingga pukul 6.40 Tika masih duduk di bangku depan kelas XI IPS 1 dengan penuh konsentrasi. Ia mencocokan satu persatu wajah temannya dengan foto yang kini ia pegang. Matanya langsung berbinar ketika ia melihat Feri, Tika rasa Feri orangnya. Putih dan ganteng, seperti di foto, Tika yakin.
“Feri, elo orang yang numpahin keranjang di KomplitMART kemarin?” Tika menepuk pundak Feri yang lebih tinggi dari Tika.
“KomplitMART?” Feri belum memahami maksud Tika.
“Elo yang ngejatuhin dompet di KomplitMART?” Tika kembali memborbardir Feri dengan pertanyaan.
“Dompet gue masih ada kok di tas,”Feri mengelak.
“Elo yang beli ShineSkin di KomplitMART?”
“Apa? ShineSkin? Elo kira gue kurang putih?”
“Terus siapa lagi kalo ini bukan elo?” Tika pun menunjukkan fotonya kehadapan wajah Feri.
“Yey, ini sih bukan gue, ini Ferdi.”
“Lho, jelas-jelas ini kulitnya putih. Ferdi kan kulitnya cokelat,” Tika berusaha membenarkan tuduhannya terhadap Feri.
“Ya iyalah putih. Fotonya aja udah luntur. Ngomong-ngomong lo dapet dari mana foto ini?” Feri penasaran.
“Oh ya, kemarin gue kan ke KomplitMART. Tiba-tiba ada botol ShineSkin ngeluncur ke kaki gue. Nggak jauh dari situ ada dompet dan banyak makanan yang berserakan. Ada juga keranjang yang tergeletak. Mau disusul nggak enak. Akhirnya gue sakuin deh dompetnya, barang-barangnya gue tinggal. Pas gue udah beres belanja gue dateng ke Pusat Informasi. Kata Informan tadi ada orang yang nyari dompet dan pake seragam yang mirip sama gue.
Gue punya rencana buat balikin dompet di sekolah. Tapi pas gue mau buka dompet dirumah, dompet udah nggak ada. Yang nyisa cuma foto ini,” terang Tika.
“Oh… mungkin Ferdi itu pergi ke KomplitMART, bukan ke‘depan’,” Ferimendapat penjelasan atas kelakuan aneh saudaranya kemarin sore.
Setibanya didalam kelas, Feri langsung duduk dibangkunya dan langsung menunjukkan foto yang didapat dari Tika.
“Ini maksudnya apa?” Feri dengan nada mengejek.
“Eh, fotoku. Dari mana kamu dapet…”
“KomplitMART,” Feri menjawab dengan sedikit improvisasi.
“Eh, jangan-jangan,..”
“ShineSkin.”
“Eh, kamu tahu itu. Sssttt. Jangan ribut,” Ferdi menutup mulut Feri dengan tangannya.
“Nggak lah. Tenang, kakak,” Feri menjadikan foto itu sebagai topeng.
“Kamu ngeledek ya?” Ferdi pun menyubit tangan Feri.
“Ih, genit. Eh, BTW surat keempat ada nggak?”
“Nih…” Ferdi menunjukkan surat itu pada Feri.
HAI COKELAT. KALAU KAMU NGGAK MAU JADI GOSONG DATANG KE TAMAN SEKOLAH SEPULANG SEKOLAH.
“Lo mau datang kesana?Lo harus buktiin kalo elo nggak pantes diginiin terus,” tanya Feri.
Ferdi menggeleng, “ biarin aja deh. Nanti juga capek sendiri.”
“Aduh. Lo ini pasrah amat sih. Kasih perlawanan napa?” Feri tak tahan dengan tingkah kakakknya yang terlalu sabar.
“Sudahlah. Siapapun orangnya nanti juga muncul sendiri kalo udah capek. Sepintar apapun menyembunyikan bangkai tikus pasti ketahuan,” pungkas Ferdi.
“Tapi ini bukan bangkai tikus, Fred. Sampe kapan elo diem terus?” Feri semakin tak sabar dengan kakaknya.
“Tunggu saja,” Ferdi pun kembali hanyut pada buku yang tengah ia pegang.
‘Oke, gue bakal bela elo, Fred. Gimana pun caranya,’ Feri dalam hati.
= = =
“Feri, aku mau cari buku di perpustakaan. Mungkin agak lama. Kalo mau duluan, silahkan,” ucap Ferdi saat bel yang menandakan jam pulang sekolah telah tiba.
“Oh, nggak apa-apa, gue nunggu lo aja. Lagian gue nggak punya SIM dan nggak mau ditilang,” sambil menepuk pundak Ferdi.
“Kamu kenapa? Kok nepuk-nepuk pundak. Nggak biasa banget deh,” tanya Ferdi keheranan.
“Oh, nggak apa-apa. Emang nggak boleh adek nepuk pundak kakak?”
“Nggak apa-apa sih. Nggak biasa aja,” Ferdi tidak keberatan.
“Oh ya, gimana kalo aku tunggu didepan kelas. Aku mau main Laptop aja daripada kamu balik naik angkot,” usul Feri.
“Iya deh, terserah.”
= = =
Saat Feri berjalan ke arah taman sekolah, ia melihat Tyas duduk didekat kolam ikan.
‘Ah, mungkin ia orangnya,’ Feri membatin.
Ketika Feri mendekati Tyas, Tyas langsung berdiri tegak dengan muka sumringah. Namun wajahnya langsung layu ketika ia melihat wajah Feri.
“Lho, kok Ferdi jadi put…” Tyas mengucapkannya dengan kalimat yang terbata-bata.
“Putih maksud lo? gue Feri,” dengan nada marah. “Apa maksud lo ngirim surat ledekan itu keFerdi? Kamu dendam sama kakak gue?”
“Ngg…nggak, aku nggak mak…” jawab Tyas terbata.
“Jadi lo ada urusan apa sama kakak gue?”
“Itu bukan urusanmu. Ini urusanku sama Ferdi,” Tyas dengan keras.
“Itu tentu urusanku. Siapa pun yang menggaggu kakak gue harus berurusan sama gue,” Feri dengan menunjuk dadanya dengan telunjuknya.
“Udah deh. Ini urusanku,” Tyas tetap pada pendiriannya.
“Lo ini bener-bener keras kepala ya. Gue nanya bener sama elo, ADA URUSAN APA SAMA KAKAK GUE?” Feri kini telah berada pada titik geram tertinggi.
“A..aku…” Tyas tampak mengeluarkan air mata.
“Kenapa? Takut lo sama gue,” Feri dengan muka sangar.
“Fer, tolong. Jangan mar…”
“Jangan marah? Gue marah sama lo. Sekarang juga kamu bilang, ADA URUSAN APA SAMA KAKAK GUE?”
“Aku…” Tyas lalu berlari meninggalkan Feri dengan linangan air mata.
“Tyas bukan sih orangnya? Jangan-jangan gue salah lagi,” Feri bertanya pada dirinya.
Feri pun kembali kedepan kelasnya. Ia masih memikirkan perbuatan yang telah ia lakukan pada Tyas. Ia merasa keterlaluan padanya. Walaupun Tyas yang menulis surat itu, tentu sebagai lelaki tak selayaknya ia memarahi Tyas dengan cara yang kejam. Untuk menenangkan dirinya, ia pun memainkan Laptopnya hingga Ferdi kembali ke kelas.
“Ketemu?” tanya Feri.
“Ini,” Ferdi menunjukan buku ‘CARA KEREN BIKIN KAMU JADI CAKEP’.
“Maksud lo apa minjem buku gituan?” Feri dengan nada mengejek.
“Eh, jadi orang cakep itu dapet pahala. Kan kita bikin orang lain seneng. Apa yang salah?” Ferdi membela dirinya.
“Iya lah. Gue percaya lo nggak bakal jadi Playboy.”
“Maksudmu? Kamu nuduh aku mau jadi Playboy?” balas Ferdi.
“Udah ah. Cepet balik. Ntar gue buluk disini lagi,” Ferdi pun bergegas memasukkan Laptopnya kedalam tasnya dan meninggalkan kelas dengan hati yang tak karuan.
= = =
Keesokan harinya Tyas tidak masuk kelas dikarenakan sakit. Ferdi selaku ketua kelas berinisiatif mengumpulkan uang dari teman-teman kelasnya untuk dibelikan sesuatu untuk Tyas. Ferisemakin merasa bersalah karana telah memarahi Tyas kemarin.
“Hey, ada yang mau ikut ke rumah Tyas?” Ferdi menanyakannya setelah bel pulang berbunyi.
Tidak ada yang mengangkat tangan.
“Ngapain nengok orang rese kayak gitu? Nggak banget deh,” Tika menunjukan ketidaksenangannya pada Tyas.
“Tika, walaupun Tyas bikin kamu res…”
“Bukan cuma aku kok. Yang lain juga sama. Bener nggak?” Tika membela diri dengan memotong kalimat Ferdi.
Kebanyakan kepala didalam kelas mengangguk tanda sepakat dengan Tika.
“Oke, walau Tyas bikin kita rese, dia tetap teman kelas kita, kan? Jadi saat ia susah, kita tunjukin sedikit rasa peduli kita padanya. Siapa tahu dia bisa sedikit mencair didalam kelas kalo udah sembuh. Gimana, ada yang mau ikut?” Ferdi mencoba meyakinkan teman-temannya.
Tetap tidak ada yang angkat tangan.
“Feri, kamu mau ikut kan?” Ferdi mengalihkan perhatiannya pada Feri.
“Eh, boleh.” ‘Aku juga mau minta maaf sama kamu, Tyas,’ tambah Feri dalam hati.
= = =
‘Cokelat Susu Bersaudara’ pun menyambangi rumah Tyas.
“Oh, temennyaTyas. Ayo masuk,” Bu Fany, ibunya Tyas mempersilahkan keduanya masuk.
“Eh, kunci motorku ketinggalan. Aku mau ambil kunci dulu,” Ferdi pun bergegas meninggalkan Feri.
“Cepet lo.”
Feri pun masuk ke kamar Tyas dengan membawa parsel buah yang dibelinya bersama Ferdi.
“Tyas, mungkin kemarin gue terlalu keras marahin lo. Gue nggak suka kalo ada seseorang yang mengganggu sahabat sekaligus kakak gue,” Feri menghela nafas sejenak. “Lo mau maafin gue?”
Tyas mengangguk.
“Apa Fer? Kamu memarahi Tyas?” Ferdi tiba-tiba muncul dari pintu. “Ada masalah apa kamu sama Tyas?”
“Eh, Fer. Dengerin dulu…” Feri pun menarik Ferdi keluar dari kamar.
“Sebagai laki-laki, kamu nggak gentle dengan memarahi cewek.”
“Tapi aku juga nggak tahan sama kamu yang pasrah begitu saja diolok-olok dengan cara seper…”
Ferdi membisikan sesuatu hingga membuat Feri mengangguk-ngangguk.
“Kamu nggak usah sampe segitunya juga kali. Bagusnya kita nggak memperdebatkan masalah surat dari Tyas disini. Kasihan dia lagi sakit,” Ferdi dengan berbisik.
“Ok.”
Walaupun mereka berdua berbisik diluar kamar, Tyas dapat mendengar dengan baik apa yang dibicaran mereka berdua.
Saat mereka kembali kedalam kamar, tanpa disengaja Feri menyenggol meja belajar Tyas hingga membuat sebuah buku bersampul merah muda terjatuh dan membuka suatu halaman yang tergambar lambang hati yang besar. Ditengahnya tertulis nama ‘Ferdi’.
Ferdi terbengong sesaat melihat namanya tertulis pada buku ia. ‘Apakah Tyas mencintaiku?’ batinnya. Lalu ia pun mengambilnya.
“Tyas, boleh aku membuka-buka isi buku ini?” Ferdi dengan tatapan penasaran.
“Eh… ng… Gimana ya?” Tyas tampak salah tingkah.
“Udah deh, langsung aja baca,” Feri langsung merebut buku tersebut dari tangan Ferdi.
Tyas tampak tidak keberatan dengan kelakuan Feri.Cokelat Susu Bersaudara pun membaca diary Tyas secara acak.
Pada enam hari yang lalu, Tyas menceritakan tentang kejadian di taman sekolah yang membuat pertemuan Ferdi dan Tyas menumbuhkan cinta dihati Tyas.
‘Ia bagai oase di gurun pasir,’ tulis Tyas mengenai kesan yang ditinggalkan Ferdi padanya.
“Lo ngapain aja sampe dia nulis begini?” Feri menyenggolkan pundaknya pada pundak Ferdi.
Ferdi mengangkat bahu.
‘Kuingin berikan yang spesial untukmu,’ tambahnya diakhir catatan hari keenam.
“Apa yang pernah dia kasih ke elo?” Feri kembali bertanya pada Ferdi.
“Oke, aku akan jelasin semuanya,” Tyas yang dirinya merasa semakin terdesak kini berusaha menjelaskan apa yang terjadi.
“Aku… mencintaimu. Aku pun ingin jadi milikmu. Namun aku mencoba mencari cara unik untuk menyampaikannya…”
“Maksudmu?” Feri lebih aktif dibanding Ferdi dalam mengorek masalah ini.
“Aku ingin membuat kesan yang berbeda tentang aku pada kakakmu dengan surat coklat, seperti cokelat yang Ferdi brikan padaku…”
“Dengan bonus mengolok-olok Ferdi?” Feri kesal.
“Tunggu dulu, aku ingin memberikan kejutan dengan caraku,” Tyas menghela napas sejenak,”Ferdi, ijinkan aku mencintaiku,”
“Wow..” Ferdi kaget dengan pernyataan Tyas yang to the point itu.
“Tak ada yang mau peduli denganku. Hanya kamu yang mau peduli padaku.”
Mendengar pernyataan itu membuat Ferdi tersadar dengan keberadaan Tyas dikelas yang selama ini cenderung kurang dianggap. Mungkin sifat pendiam dan cueknya membuat dirinya semakin terisolasi pada pergaulan.
“Tyas, semua orang peduli padamu. Tinggal kau yang membuka diri untuk teman-temanmu,” Ferdi mecoba member sugesti pada Tyas.
“Tapi selama ini aku tak dianggap, hanya kamu yang mau menanyakan kabarku…”
“Apa yang telah kau lakukan untuk mendapat perhatian teman-temanmu?” Ferdi kini terkesan mengintrogasi Tyas.
“Ng… aku… apa?” Tyas tampak bingung dengan jawaban yang harus diberikannya pada Cokelat Susu Bersaudara ini.
“Lo pernah mengucapkan ‘Selamat pagi’ ke teman lo dikelas?” kini Feri yang mengintrogasi.
Tyas menggeleng lemah.
“Lalu apa yang membuatmu merasa tidak dianggap kalau kamu saja tidak menunjukkan bahwa kamu ada?” Ferdi kini dengan nada menghakimi.
“Tolong,…” Tyas kini menitikkan air mata. “Jangan membuatku semakin tersudutkan.”
“Fred, kalau dia udah nangis kayak gini lo mau ngapain?” Feri berbisik pada Ferdi.
“Kamu diem dulu deh,” Ferdi menatap Feri meminta pengertian.
“Gimana coba?”
“Kita balik?” Ferdi meminta persetujuan.
“Yap,” Feri dan Ferdi pun mengayunkan kakinya keluar kamar Tyas.
“Tyas, kita mau balik dulu. Moga besok udah bisa sekolah ya. Inget, temen-temenmu nunggu disekolah,” Ferdi memberikan senyum.
Sebelum keduanya keluar dari kamar, Tyas meminta mereka berdua menghentikan langkah mereka sejenak.
“Tapi, apa kau mau jadi pacarku?” Tyas penuh harap.
Ferdi pun memalingkan wajahnya pada Tyas. Ia bimbang. Ia tahu Tyas bukanlah anak yang buruk. Ferdi juga tahu Tyas membutuhkan perhatian yang lebih untuk menguatkan hatinya. Namun hati kecilnya tak menghendaki Tyas untuk menjadi pacarnya. “Tyas, aku tidak dapat menjadi pacarmu…”
“Kenapa? Ada orang lain dihatimu? Kamu tega buat harapanku, cintaku buat kamu hancur begitu saja? Aku nggak nyangka kamu orangnya seperti itu. Aku kira kamu beda dari yang lain. Ternyata…”
“Aku bukan milikmu, aku juga bukan milik siapa-siapa. Semuanya milik Tuhan. Manusia tak memiliki apapun, dan kau harus tahu itu. Aku tak ingin persahabatan kita ternoda. Tapi kita bisa berteman, kan?” Ferdi menjelaskan sehati-hati mungkin. Iya tak ingin semakin memperparah suasana. Lagipula, menjadi pacar Tyas bukanlah satu-satunya cara menyelesaikan masalah ini, pikirnya.
“Iya, aku tahu,” Tyas dengan linangan air mata yang tak terbendung.


Dia.. Bintangku


Diantara banyak bintang bertaburan dilangit malam yang sunyi, gue nemuin satu bintang yang paling terang dari yang bersinar. Dia indah, gue seneng mandanginnya, gue seneng liat sinarnya, indahnya bikin gue lupa tentang masalah gue. Mungkin inilah keindahan Allah SWT yang memberikan gue mata yang sempurna agar melihat suatu hal yang indah pula. Walaupun bintang itu milik Allah tapi gue bisa nikmatinnya, bikin gue tenang. Kalian tau ga? Bintang itu indah saat ia bersinar, andai setiap malam gue bisa liat bintang itu bersinar dan menerangi kelamnya malam. Ga semua bintang bisa seindah itu, kadang kalo malem dateng dan gue menengadah buat cari bintang yang bersinar rasanya sulit, dia ga selalu hadir disetiap malam, ga selalu ada buat nerangin malem, dan ini yang ga gue pengen. Gue pengen bintang bisa hadir setiap saat, dan disaat gue butuh dia

Errrr— banyak banget masalah yang gue hadepin belakangan ini, kenapasih gue gabisa dapet ranking terbaik disekolaah? Kenapa sih gue pemales, kalo orang beres-beres gue pasti diem, gue pemales? Kapan gue bias bikin karya indah yang bisa bikin gue bangga dengan hasil itu? Kapan gue bisa banggain orangtua gue dengan pencapaian gue selama ini? Kapaaaaaan? Gue ngerasa hidup gue itu—ga guna, ga rugi orang lain ga liat gue, soalnya gue gabisa apa apaaaa errrrrrr—

“yaaa, kenapa ya gue tuh gabisa bikin orang tua gue bangga. Masa ranking gue turun dan gue sekarang makin lama dirumah tuh makin males. Kayaknya tuh gue ga guna banget–” Tanya gue ke aria yang ada dihadapan gue bersama snack serena kesayangannya.

“hus ga boleh gitu—ranking doang turuuun tapi nila naek kan. Udah kalem ajaaa. Ohiya nay, lu bantuin gue ya buat bikin cerpen—gue gabisa ngerangkai kata-katanih” pinta aria ke gue.

“ih ya, gue gabisa apa apa-__- mana bisa bantuin eluu bikin cerpen coba?” jawab gue bête.

“ih nay lu mah suka aneh, lu kan lebih jago dari gue. Ohiya, nanti lu yang sebarin cerpennya ya, kan lu banyak temen” pinta aria mengelak apa yang gue bilang

“aria ariaaaa—gue mah gabanyak punya temen ah , mening elu aja. Emang cerpen buat apa?” jawab gue lagi sambil mengambil jus alpukat yang baru aja datang ke meja tempat kita berdua duduk di kantin kampus

“tuh kan lu mah suka gitu nay ah bête gue” aria marah

“ya emang iya kan ya, gue gasehebat elu yang punya banyak karya dan pinter. Udah ah gue males mikirin ini itu—gue pusing. Otak gue serasa mau mudaaal. Pulang yu ya” gue mengelak dari apa yang aria omongin, sambil menghabiskan jus alpukan gue berdiri. Otak gue pusing, gue lagi males berhadapan sama masalah.

“…” aria berdiri dari bangkunya dan menyusul gue yang udah berjalan duluan untuk naik bus pulang
Kita berjalan dalam diam menuju halte bus, tiba-tiba aria memecahkan keheningan ini

“nayaka, asal lu tau. Kalo lu terus liat keatas membandingkan diri lu dengan orang lain yang lebih hebat itu cuman bisa bikin lu terpuruk. Lu ga akan bias ngeliat potensi lu sendiri. You have nayaka, admit it”

“tapi yaaa…” gue sedikit cemberut

“tanpa lu sadarin banyak orang disekelilinglu yang lebih gaguna nay, lu liat eza yang kerjaannya kelayapan tiap malem, nilai jeblog, dan ga dipeduliin sama orang tuanya, termasuk gue. Lu masih ngerasa elu orang paling ga guna? No nayaka! you have your own potential you have a good skill to make an article or a story. you have nay jangan pernah berfikir kamu itu sendiri disini, gapunya temenlah, inilah itulah, gue? Ada gue disini nay, gue bakal selalu ada. Lu anggep gue bukan temen? Jangan selalu bayangin yg ga ada tapi manfaatin yang ada nayaka”

Aria.. that’s a best part I ever hear from his mouth—ever. Dia emang bener bener sahabat gue yang paling ngerti apapun tentang gue. Baru gue sadarin, ngapain gue selalu mikirin yang ga ada, ngerasa ga ada temen, jelas jelas aria selalu ada buat gue. Gue ngerasa ciut? Hidup itu bukan untuk menyesali tapi untuk mensyukuri. Liat kebawah untuk merasa kita mampu dan liat keatas supaya kita termotivasi. Itu semua udah gue simpen diotak gue rapetrapet. Petuah dari aria yang bisa bikin hidup gue berubaaaah.

Setelah hari itu, gue mulai menyadari pentingnya waktu dan menghargai teman. Sekarang waktunya gue menerima hasil ujian praktek. Entah apa yang bakal gue dapet. Aria udah lebih awal mendapatkan hasil ujian praktek gitarnya, dengan sempurna ia mendapat 5 bintang dari dosen kita. Gue masih tetep nunggu dengan sabar.

“bosen ya nay?” Tanya aria ke gue yg memasang wajah kecut dan tangan disimpan didagu sambil duduk dikursi taman dekat gedung fakultas kami.

“hmmm.. gue laper abisnya” jawab gue ketus

“dih jutek cuman garagara laper, yaudah ayo makan dulu” tawar aria sembari berdiri dari duduknya

“ah engga ah, gue mau nungguin hasil ujiannnya”

“yaelaaaaaaaa nayaka lu pasti lulus dan dapet hasil terbaik. Percaya deh sama gue”

“gimana caranya gue bisa pegang omongan lu ya?”

“lu pikirin aja sendiri, seberapa besar usaha lu saat melakukan ujian praktek. Itu hasilnya lu bisa ukur sendiri”

“sialan ini orang selalu nyihir gue dengan omongannya” gumam gue

“hehehhe” aria yang mendengar gumaman itu tertawa merasa dirinya disindir.

**

“ARIAAA!!! I’ve got what I want!” suara gue menggema diantara pohon pohon taman kampus gue. Aria duduk dengan iPodnya menunggu gue dikursi taman. Sedikit kaget melihat gue. Dia berlari dan menanyakan kebenaran katakata gue

“beneraaaaan?!!” tanyanya girang

“iya yaaaaaa Aaaaaaaaa seneeeng!!” jawabku lebih heboh darinya

“yeeeeeeeee nay lu berhasiiil asik party asik party” jawabnya sumringah

“hem engga ada party partyan. Gue mau male mini cuman gue sama bintang dilangit yang bersinar yang ngerayain. Besok aje lu gue traktir ya yaaa ;)”

“dih si nayaka nyebelin amat-___- kalo udah liat bintang susah banget diganggu”

mata gue terbuka lebar, gue menengadah memandangi langit malam yang bertabur bintang. And I’ve got the best reward! And this is my favorite! See the star. Bintang, gue paling suka bintang—indah, bersinar, terang, dan bikin gue tenang. Setiap gue liat ada satu bintang paling terang dilangit teras kamar gue, gue pastiin itu Aria. Aria sahabat gue, dia sama kaya bintang. Katakatanya bisa bikin gue tersihir setengah duduk buat berubah. Sama halnya dengan bintang yang bisa nyihir gue saat sinarnya sangat benderang dilangit. Bintang ga selalu bersinar setiap saat. Walaupun cuman malam yang bisa bikin gue ketemu sama dia tapi itu berarti bagi gue. Sebentar yang bermakna. Mulai saat ini gue ga akan nyia nyiain hidup gue lagi cuman buat menyesali sesuatu. Gue inget kata kata aria yang dia bilang saat gue lagi bête “belajar lah dari masa lalu, hidup untuk hari ini, dan bermimpi untuk masa depan”

“thanks ya, gue tau seberapa berharga sinar bintang dimata gue, sama halnya dengan elu yang lebih berharga dari itu.”

mata gue terpejam menikmati malam diantara banyak bintang bertaburan dilangit luas, diatas rerumputan halaman

Welcome Exam I am Ready!
Leave a reply

malam kian larut waktunyatarik selimut angin berhembus lembut ,malam yang sunyi, hanya deru kendaraan roda 2 dan roda 4 yang terdengar, lampu2 di setiap rumah masih menyala hanya pintu2 rumah mereka yng tertutup rapatjarang sekali ada pedagang keliling melewati gang2 rumahku d malam hari mungkin karena sepinya pembeli, tapi sepertinya aku tidak bisa secepat itu untuk larut dalam indahnya mimpi yang sering datang menghampiriku,ku persiapkan barang2 yang akan ku bawa esok hari aku rasa hnya aku yang terlambat datang ke asrama tapi tak apalah kapan lagi aku datang terlambat ,yang penting aku tidak terlambat mengikuti ujian UAS & Ujian praktek yang di adakan di asramaku . semua perlengkapanrasanya sudah kumplit tidak ada yang tertinggal mulai dari baju tidur ,baju sekolah,kosmetik sampai perlengkapan mandipun sudah ku persiapkan tinggal tunggu hari esok hmmmzzzzz seperti mimpi rasanya ,aku akan menginap di asrama selama 2 week! Owh sangat2 mengejutkan,waktu menunjukan pukul 11.15 mata ini belum terasa mengantuk ntah apa yang menyebabkan mataku masih terjaga padahal aku sudah memejamkannya berulang kali ,gelisahkah aku?apa yang ku gelisahkan?.

@@@

“hi k’Ulya,kapan datang nie? Gm kabarnya?lama banget kamu g datang ke sini”ku hanya menjawab dengan senyuman Rona mengerti maksudku,jujur saja aku udah g nyaman lagi kalau harus tinggal lama di sana mungkin karena sekarang aku merasa nyaman hidup di luar atau mungkin karena aku memang sudah tidak bermukim lagi di asrama jadi merasa canggung dan malu,pertama datangpun aku mulai merasa malu untuk menginjakan kaki di tempat itu teman2kupun tidak ada yang menyambut karena aku tidak memberi tahu mereka kalau aku akan datang sore itu, ku rasa merekapun akan tahu aku dating, tanpa harus aku beri tahu .ku meminta tolong pada Rona untuk membantuku mengangkatkan koper yang begitu berat untung saja dia mau ,semua mata tertuju padaku ketikaku melewati masjid yang dekat sekalidengan kamar teman2ku ya itulah alumni pasti jadi pusat perhatian para santri baru ataupun santri lama yang mengenali kita,ku tundukan pandanganku karena rasa malu padahal untuk apa aku malu toh aku masih mengikuti aturan yang ada di asrama tapi ya mungkin itu salah satu dari sifat ku yang masih mendarah daging dan mudah- mudahan itu hilang ,hilang dalam kebenaran dan muncul dalam kesalahan. sore itu cuaca terlihat cerah seolah mendukungku untuk terus semangat menghadapi ujian hari esok ,ku sapa semua teman2ku yang ku dapati di sana mereka tersenyum ramah padaku menyapaku dengan penuh senyuman aku senang bisa bertemu dengan mereka kembali sungguh kapan lagi aku bisa bertemu dengan mereka selain di keseampatan kali itu ,ku rebahkan tubuh yang lelah ini di atas tumpukan kasur yang tersusun rapih mereka bnyak bertanya padaku tentang hidupku ketika sudah di luar asrama tentang pasanganku dan pastinya tentang perkembanganku,bagai seorang artis yang sedang di wawancarai saja !!!…………..

Sore berganti malam, indah! ku bisa melihat kembali keindahan di malm hari yang sesungguhnya, bintang yang bertebaran bagaikan kumpulan galaxy yang terlihat begitu jelas ku lihat pancaran bulan yang beitu terang meramaikan suasana malam ,asrama begitu ramai dengan teriakan para santri yang sedang belajar di malam hari para ustadz mengontrol berjalannya aktivits di malam itu ,angin berhembus sepoi2 menyentuh tubuh semua orang yang terlibat di dalamnya ku enggan untuk kembali menyaksian indahnya malam itu udara mengalahkan ragaku aku kembali ke dalam kamar yang cukup untuk kami para alumni menginap di dalamnya aku terlelap dala tidurku,bersiap untuk hari esok hari di mana aku juga teman2ku yang lainnya akan menghadapi ujian Aliyah.
.”Ulya di mana ruang ujian kamu?”Tanya Avril padaku ,setelah ku lihat daftar urut tempat duduk ternyata aku dan Avril satu ruangan tempat duduk kami berjauhan Avril duduk di barisan depan sedangkan aku duduk di barisan belakang dekat dengan Raja di depanku sedangkan di sebelahku sendiri ada Ira dan Zizi ,aku senang dengan hal itu kutersenyum padanya dia tahu kalau ternyata aku satu ruangan dengannya ,ujian yang menyenangkan fikirku tapi pertama ujian ku merasa kurang nyaman karena ternyata di ruanganku ad 6 orang ikhwan ,lama ku menjalaninya akhirnya ku terbiasa juga tapi aku tetap harus tahu batasannya meskipun kami memang tidak terlalu di awasi lagi ujian hari pertama lulus sensor tdk ada masalah, aku juga yang lainnya free dari pengawasan guru2 ya ada di sekolah itu .
Hari demi hari kami lalui dengan sempurna tidak ada masalah sedikitpun seseorang jauh di sana slalu menyemangati ku untuk slalu bersemangat mengerti dengan keadaanku ,mengingatkanku dalam segala hal menemaniku di kala sepi ,sibuk,juga dalam keadaan ketika ku membutuhkan org yang dapat membantu ku untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan yang menurutku memusingkan karena jujur aku kurang bisa dengan hal kerajinan tangan meskipun aku seorang perempuan,mungkin dia menganggapku lebih tapi aku belum bisa sepenuhnya untuk bisa terus dekat dengannya karena ku punya pengalaman pahit dalam masalah cinta ,aku tidak ingin di sakiti untuk kedua kalinya dan aku tidak ingin menyakiti siapapun,

@@@

kami memang curang dalam ujian kali ini tapi mereka lebih curang dari kami, kami mengkaji sendiri soal2 yang akan di ujikan sedangkan mereka mendapatkannya dari guru2 mereka tapi kami juga sadar kami tdk boleh suudzon dulu Karenaitu merusak reportase kami sebagai seorang murid di asrama kami 1 minggu kami lalui ujian UAS itu, 2 hari terakhir masalah mulai bermunculan kami ketahuan mendapatkan jawaban-jawaban untuk soal yang akan di ujikan semua murid yang membawa hand phone mengumpulkan hand phone mereka trkecuali ruanganku dan sebagian teman aku yang lain ku hanya diam ku sembunyikan dalam saku bajuku dan untungnya ruanganku bebas dari penggeladahan, hand phone ku selamat ,hari terakhir ujian sekolah semua pengawas menggeledah baju kami satu per satu untung waktu penggeledahan aku tidak membawa hp ku lucunya ketika penggeledahan di langsungkan satu dari kami menyembunyikannya ke dalam tempat terlarang ,gelak tawa terdengar di ruang kami terutama ikhwan yang ada di tempat benar2 hal yang menggelitik .
“Ya,kamu bawa lg?” Tanya salah satu dari teman ku.aku menggeleng sembari tersenyum dia mengiyakan .awan mendung,dia seperti tidak bersahabat aku terdiam ada rasa takut dalam hati kalau kami akan dapat masalah yang besar hari itu bpk kepala sekolah masuk keruangan kami ,ku kira kami akan dapat hukuman darinya
“asslamkum wr’wb’…baiklah anak2 ujian praktek kita mulai dari sabtu, minggu ini…! ,di karenaka hari jumat tanggal merah jadi besok ujian di liburkan dahulu baiklah mungkin hanya itu saja,wassalamkm”
“jadi aku di sini 1 minggu lagi donk ?”
“ya seperti itulah Ulya”
“subhanallah ”,,,,,,,,
“sabar Ya”,
Ku tersenyum kaku tdk ku kira tadinya 1 minggu jadi harus 2 minggu ku rasa percuma aku terus mengeluh ,toh tdk membuahkan hasil .

@@@

Hari kamis ,hari dimana kami mulai mengikuti ujian praktek fiqih dan aqidah ,kami mampu menghadapinya .syukurlah kami lolos dalam ujian praktek pertama ini .
Udara segar cuaca yang mendukung ku rasa hari itu kami akan sibuk mempersiapkan makalah yang harus di dwon load ya untuk apalagi kalau bukan untuk kami serahkan di hari sabtu nanti ,aku dan Mala pergi dari asrama kami mencari warnet yang lumayan jauh dari sekitar asrama, cukup menggunaka waktu yang lama kami mendown load. ya memang aku kurang bisa jadi lumayan lama .cuaca semakin panas matahari kian memperlihatkan sinarnya mobil2 berjajar di sepanjang jalan aku bru melihat pemandangan seperti itu ,memang hari itu adalah hari jum’at jadi banyak kendaraan beroda 4 memilih untuk berhenti sejenak memenuhi masjid di pinggir jl raya tsb ku terus berjalan menuju warung bakso untuk mengisi perut yang masih kosong sedari pagi tadi .untung saja aku sudah biasa dengan perut kosong jadi bukan masalan lagi untuku kalau aku belum makan.
“Ulya,cerpen gimana?apa kamu udah menyelesaikannya? “Tanya Ammar pada ku,ku kira mereka tidak menyerahkannyha pada ku jadi aku enjoy saja tanpa membuat cerpen itu,

Hari yang aku tunggu hari sabtu,kami akan melakukan praktek olah raga ,kami kenakan pakaian olah raga angkatan kami dan semua terlihat serempak ,aku suka pemandangan seperti ini semua murid harus mengikuti olah raga yang di tentukan tapi aku mundur ketika olah raga loncat jarak jauh aku rasa aku tdk usah mengikuti olah raga yang satu itu,kenapa?jika olah raga itu di pisah antara akhwat dan ikhwan aku pasti akan mengikutinya tapi nyatanya tidak ada batasan antara kami,jadi lebih baik aku mundur saja…..
“dhe,kenapa tadi ga loncat ?”tanya Akara padaku dia memang saudaraku ,saudara yang menyebaklkan tapi menggemaskan juga
“ndak k,”
“kenapa?kamu g dapat nilai donk dhe?”
“nggk k biarin aja,”
“hmmz kamu nie dhe harusnya kamu tadi loncat”Sembari mendekati ku ,lalu berjalan mundur menjauh dari hadapan ,aku bejalan meanjauh dari toko yang tadi aku datangi untuk membeli sebuah minuman karena haus yang ku rasakan kami berjalan bersamaan, ikhwan di belakang kami dan akhwat di depannya terbalik sich memang ,tapi ku rasakan bagaimana namanya sekolah di luar sana bebas tanpa ada hijab olah raga yang menyenangkan kapan lagi bisa olah raga bareng dengan teman2 !,usai praktik olah raga aku bergegas membeli sebuah buku tulis untuk membuat cerpen yang harus jadi secepat mungkin. dengan gerakan yang cepat ku sambar pulpen yang sedari tadi bersembunyi dalam kantong bajuku .penulisan cerpen baru akan di mulai, ku berusaha menyelesaikannya dalam jangka waktu yang singkat tapi tetap saja cerpenku belum saja selesai di hari itu juga, ku mencoba untuk tidak tidur malam demi menyelesaikan karyaku, seseorang di sebrang sana setia menungguku dengan suaranya ,aku terhibur semua tidak menjadi beban untukku baru kali ini ada orang yang begitu perhatian terhadapku setia menemaniku ,mengajariku,memberi motivasi padaku juga sabar dengan keadaanku yang mungkin slalu menyebalkan orang yang ada di sekitarku.Hubungan kami tidak bisa di bilang pacaran karena memang kami tidak pacaran mungkin bisa di bilang HTS (Hubungan Tanpa Setatus ),tapi kurang srrek juga kalau di bilang hts aku lebih suka kami adik kakak ketemu gede gitu ,sama aja kali ya,,ntahlah aku bingung sendiri ……………..!!!!!!!!!!!!,^_^…

Esok hari yang mendung hari ahad,aku terus mengerjakan tugasku yang belum selesai, cerita yang panjang menurut teman2 ,tapi tidak menurutku hari semakain siang besok adalah pengumpulan hasil karya,seperti karya ilmiyyah,cerpen,dan hasil karya yang lainnya ,sedangkan aku belum juga menyelesaikannya tepat jam 16.30 akhirnya cerpenku selesai juga,baru kali ini aku dapat menyelesaikan cerpen dalam waktu yang singkat biasanya ku kerjakan dalam waktu yang lama tapi tidak untuk kali ini ,sore itu aku mengajak Kay mengantarku ke kampus putra untuk menyerahkan hasil karya yang akan di ketik oleh ikhwan di kelompok ku,tapi ketika ku sampai di sana hanya kekecewaan yang ku dapat mereka tidak memberitahu kalau mereka terlebih dahulu mendownload sebuah cerpen,aku tidak marah tapi aku hanya kesal saja kesal karena mereka sendiri yang menyuruh ku untuk secepat mungkin menyelesaikan cerpen yang mereka percayakan padaku tapi ketika ku menyelesaikannya ternyata mereka lebih dulu memilikinya,ku kucewa sangat untuk apa aku lembur sedangkan tidak membuahkan hasil.
?“sebel banget,kenapa g kasih tahu aku kalau udah di selesaikan,?”
Massageku baru di balasnya malm ,aku makin kesal dan kecewa

?“assalammu’aliakum”?

?“wa’alaikumsalam ada apa ust?”panggilku padanya meskipun dia satu angkatann denganku ,krena dia ustadz di asrama jadi lebih baik aku panggilnya seperti itu

?“mana cerpennya?”

?“perlukah?”

?“ya sangat perlu”

?“bukannya udah selesai terlebih dulu?”

?“kata siapa”.

?“kata ust Salman”

?“kata siapa Ulya?”

Aku makin kesal, sebenarnya beliau mempermainkanku atau sedang menguji kesabaranku?,aku tidak mengerti dengan yang di maksudnya dan apa maunya mudah2an itu hanya firasatku yang buruk saja

?“tadi kan aku udah bilang,kata ust Salamn ust ……………..tadi sore aku ke asrama ikhwan tapi waktu aku tanyakan kemana ust Ammar yang lain bilang kalau antum lagi main footsal ya udah aku kembali ke asrama akhwat ,toh nuggu anmtum juga ga ada gunanya “

?“Ulya marah ya?”

?“insyaallah tidak ada kata marah, untuk apa aku marah? Ga ada guna aku marah yang penting tugas selesai”.

?“afwan ya Ulya “

?“ga apa2 toh aku juga yang salah kerjaanku kurang cepat “.
“^_^”………….

Malam yang kelam terdengar suara jangkrik di mana2 aku meminta Mita menemaniku malam itu, dia adik kelasku yang begitu dekat denganku aku ,Mita,Nina,kami benar2 klop banyak kesamaan dalam diri kami itu yang ku rasakan .kami saling melepas kerinduan banyak berbagai macam hal yang kami ceritakan mulai dari kelulusan pengabdian ,sampai jodoh hmmzzz jodoh ea memang kita tidak tahu siapa jodoh kita ,udara yang dingin menemani kami semilir angin membuat bulu kuduk kami berdiri tapi kami terus menembusnya dengan cerita2 hangat malam itu.Mita adik kelas ku yang baik, pintar, shalehah manis tdk salah jika teman seangkatanku Yusuf menyukainya ku harap mereka bisa sampai pelaminan itu do’a ku untuk keduanya tapi tetap jodoh ada di tangan Tuhan
,mata kami terasa kantuk aku berjalan menuju kamar temanku yang lain untuk menyelesaikan tugas kerajinan kami,kk’menemaniku mebantu menyelesaikan kerajinan tangan pada malam itu pukul 01.00 tugas baru saja selesai kk’ masih menungguku untuk cepat tidur dia tidak bisa menutup hand phonenya jika dia tahu kalau aku masih terjaga ,perhatiannya padaku sangat pagi,siang,malam pasti tak lepas dari menelephoneku dia tahu waktu tidak mengganggu ku ketika ku belajar pokkoknya sangat perhatian pada ku .atau mungkin aku terlalu mempercayainya?

@@@

Senin ,26 maret 2012 waktunya pengumpulan karya ilmiyyah dan kerajinan tangan ,sukses akhirnya ujian praktek seslesai juga yang artinya aku bisa cepat pulang meninggalkan asrama tercinta hari itu kami mengumpulkaan hasil kerajinan kami juga karya ilmiyyah kami ,ada kecurangan dalam pengumpulan karya lmiyyah kami di suruh untuk talking ketika pengumpulan karya ilmiyyah bahasa inggris sedangkan murid dari sekolahnya sendiri hanya di suruh untuk mengumpulkannya saja tapi tak apalah itu pembelajaran buat kami,supaya kami tambah pintar waktu itu karya ilmiyyah berbahasa inggris kami tanpa memakai jilid akhirnya kami mengumpulkannya lalu menjilidnya bersama ,aku dan Putri pergi menuju foto copy terdekat kebetulan sekali di sana aku bertemu dengan Adhan dia ikhwan ,teman seangkatan denganku aku dekat dengannya dulu teman2 bialang kalau dia suka denganku dia memang akrab dengan orang tua ku dia perhatian baiik,pintar,tapi ntah kenapa aku tidak bisa untuk menerimanya sebagai seseorang yang sepesial,aku ingin dia menjadi lebih baik lebih shaleh lebih tahu akan syariat agama aku harapaku bukanlah penghancur akhlak dan imannya itu alasananku kenapa aku tdk memberi respon lebih padanya juga memang karena umur kita terpaut tidak jauh dan aku tidak ingi kita hanya have fun aja untuk masalah yang satu ini,aku tersenyum padanya begitupun dia !

“hi,ya gimana kabar ummi?’

“Alhamdulillah baik “ku tersenyum padanya

Adhan ,apa benar sekarang kamu denganya?kenapa?apa karena aku tidak memberikan jawaban pada mu waktu itu?kamu jadi dingin padaku Dhan ,tingkah lakumu sekarang ini berbeda dengan itngkah lakumu sebelumnya tidak seperti biasanya .Dhan ada apa dengan mu?kamu sekarang bukanlah Adhan yang ku kenal dulu …..(ku berbicara pada diriku sendiri ),
Setelah penjilidan selesai aku juga putri kembali ke sekolah untuk menyerahkan hasil jilidan karya ilmiyyah kami,setelah menyerahkan kertas2 HVS itu kaki ini cepat melangkah menjauh dari ruangan pengumpulan tugas, ku berjalanterus berjalan menuju kantin sebelum saampai ku urungkan niat ku untuk terus melanjutkan langkahku,ku lihat Adhan menyandarkan lengannya di atas pangkuan Tiara mereka terlihat begitu dekat, dari awal aku udah yakin kalau Adhan akan dengannya gelak tawa canda ria terlukis di wajah keduanya tersirat rasa takut di wajah mereka,ntah ketakutan apa yg mereka sembuyikan ,takut kalau aku tahu mereka menjalin hubungan khusus ?itu pasti karena aku tahu hal itu,dan percuma mereka tdk bisa menyembunyikannya dari ku .ntah kenapa hati ini sakit ,bukan sakit karena aku tdk bisa menjadi kekasihnya akan tetapi sakit karena mereka menusukku dari belakang ,ingin ku menangis sejadinya tapi untuk apa?kenapa? jika ku menangis karena masalah itu sungguh aku adalah orang yang munafik di antara teman2ku bukankah aku beragama islam bukankah aku beriman? Kenapa harus menangis karena hal seperti itu ?tapi tak bisa aku pungkiri air mata ini begitu cepat meleleh, pipiku basah olehnya ,aku harap tidak ada yang menyaksikan hal itu biar hanya aku dan diri-NYA yang tahu .hari semakin siang terik matahari solah menantang kami agar terus berjuang tanpa mengeluh menggapai mimpi

“tadi dari mana Lan?”Tanya Nirna pada Alan ,aku seamakin penasran karena setahuku tadi Alan mengantar Adhan sampai depan gerbang sekolah.

“itu na, Adhan minta di antar sampai depan”

“ya elah kedepan aja minta di antar,dia kan cowo Lan,memang ada apa?”.

“itu katanya tadi Tiara sms cepat pulang,pengen pulang bareng”

“hmzzzzz emangnya di tunggu di mana sama Tiara?”.

“di dekat masjid depan itu loch”

“owhh”.

aku hanya tertegun menopang dagu,ku tidak menyangka dengan semua yang terjadi di asrama,juga yang terjadi pada sahabatku air mataku meleleh kembali sedih,dada ini sesak dengan pengakuan Alan tadi kegelisahan mulai tidak bisa di redakan lagi aku benar2 tidak betah lagi untuk tinggal lebih lama di asrama,apalagi jika aku harus melihat kemesraan dan kedekatan mereka di setiap mereka bertemu tapi kenapa aku harus merasakan hal itu?ku mengingat-NYA sesering mungkin, meredakan perasaan yang gelisah berusaha mendekat pada-NYA,menjauhkan perasangka buruk yang sering menghampiri,

“Ulya,kapan kamu pulang?”

“secepatnya”.

“kusam banget ya”

Senyuman yang hambar untukku saat,,, itu sangat hambar,apa aku cemburu?idak itu tidak ada dalam kamusku ,besok aku pulang aku pasti bisa melupakan kejadian itu,malam terakhir di asrama ku curahkan semua kegelisahan ku pada Mita,dia merespon dengan baiik dia mengerti keadaanku saat itu,seharian wajahku masam tapi ketika ku bersama Mita senyum ku kembali menghiasi bibirku yang seharian kecut.Sekarang aku dapat mengambil hikmah dari semua yang ku lalui selama ku mengikuti ujian Aliyyah itu aku hanya dapat bergumam

“good bye Adhan,,smoga kita dapat bertemu kembali..sukses slalu teman kelak kita akan merasakan indahnya kesuksesan yang telah kita raih”

Senyumku mengembang Ku seret koperku menjauh dari kamar alumni,aku alumnni pertama yang meninggalkan asrama pagi itu udara yang sejuk menemaniku dalam perjalanan pulang,embun pagi membelaiku dalam indahnya panorama sepanjang jalan.

Demikianlah ulasan dari Seputarpengetahuan.co.id tentang Cerpen Persahabatan , semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kalian. Terimakasih telah berkunjung dan jangan lupa untuk membaca artikel lainnya.

Daftar Isi